Sabtu, 29 Juli 2017

HAP-CONTOH SURAT KUASA (PENGGUGAT) TENTANG JUAL BELI





Dalam melakukan suatu penyelesaian masalah melalui peradilan PN,PA, PTUN, Dsb, tentu membutuhkan surat kuasa dalam melakukan tindakan tersebut, entah itu dalam permasalahan hukum perdata seperti warisan, jual beli, wanprestasi dan sebagainya, harus membutuhkan surat kuasa. Berikut ini adalah contoh dalam pembuatan Surat Kuasa untuk penggugat untuk diberikan segala hak-hak nya dalam persidangan kepada Penerima kuasa dalam perkara jual beli tanah :

S U R A T   K U A S A
(Penggugat)

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama                           : Andi Mulya Dewi Rinjani
Pekerjaan                     : Wiraswasta
Kewarganegaraan       : Indonesia
Alamat                        : Jln. Sembada Indah No.31 Kekalik Mataram

untuk selanjutnya sebagai Pemberi Kuasa.
Dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya tersebut di bawah ini, menerangkan dengan ini memberikan kuasa kepada:

Abdurrahman Hariadi, S.H., M.H.
Advokat, Pengacara, dan Penasihat Hukum pada Kantor Pengacara “Law Firm Lombok” beralamat di Jalan Energi Ampenan Mataram 83114, yang bertindak baik bersama-sama atau sendiri-sendiri; untuk selanjutnya sebagai Penerima Kuasa.

------------------------------------------------ KHUSUS -------------------------------------------------
Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa sebagai Andi Mulya Dewi Rinjani lawan Tiara arini yang beralamat sebagai Tergugat di jalan Sembada indah No.22 Monjok Mataram mengenai Jual Beli Tanah di Pengadilan Negeri Mataram.

Penerima Kuasa diberi hak untuk menghadap di muka Pengadilan Negeri serta Badan-badan Kehakiman lain, Pejabat-pejabat sipil yang berkaitan dengan perkara tersebut, mengajukan permohonan yang perlu, mengajukan dan menanda tangani Gugatan, Replik, Kesimpulan, perdamaian/dading, mengajukan dan menerima Jawaban, Duplik, saksi-saksi dan bukti-bukti, mendengarkan putusan, mencabut perkara dari rol, menjalankan perbuatan-perbuatan, atau memberikan keterangan-keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang kuasa, menerima uang dan menanda tangani kwitansi-kwitansi, menerima dan melakukan pembayaran dalam perkara ini, mempertahankan kepentingan Pemberi Kuasa, mengajukan banding, kasasi, minta eksekusi, membalas segala perlawanan, mengadakan dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Penerima Kuasa.

Surat Kuasa dan kekuasaan ini dapat dialihkan kepada orang lain dengan hak substitusi serta secara tegas dengan hak retensi dan seterusnya menurut hukum seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 1812 KUHPerdata dan menurut syarat-syarat lainnya yang ditetapkan dalam Undang-undang.


Mataram, 31 Juni 2017
                        Penerima Kuasa,                      Pemberi Kuasa,




(Adv. Abdurrahman Hariadi, S.H., M.H.)     (Andi Mulya Dewi Rinjani)



Contoh untuk surat kuasa tergugat/surat gugatan/surat jawaban akan saya posting dilain kesempatan. semoga bermanfaat. follow untuk terus mendapatkan postingan tentang hukum dari saya.
wassalam. trims

Senin, 28 November 2016

MAKALAH HUKUM DAGANG TENTANG KONTRAK DIBIDANG PERDAGANGAN

MAKALAH
HUKUM DAGANG
KONTRAK DIBIDANG PERDAGANGAN
DISUSUN OLEH:
Kelompok II

Abdurrahman Hariadi   
Lalu Sapoan Ali            
Lailatul Ulfa Faradina   



FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MATARAM





KATA PENGANTAR
Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat taufik hidayah dan inayahnya kami dapat menyelesaikan tugas penyusunan makalah ini tepat pada waktunya, serta Shalawat salam semoga senantiasa terlimpahkan atas Nabi besar Muhammad SAW, para sahabat dan keluarganya serta para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Al-hamdulilah, akhiranya apa yang telah direncanakan untuk menyelesaikan makalah ini bisa terlaksana. Makalah ini disusun dalam rangka pemenuhan tugas akademik mata kuliah “Hukum Dagang”.
Dalam penyusunan tugas ini tentu jauh dari sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan tugas ini dan untuk pelajaran bagi kita semua dalam pembuatan tugas-tugas yang lain di masa mendatang. Semoga dengan adanya tugas ini kita dapat belajar bersama demi kemajuan kita dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Kami memohon maaf yang sebesar-besarnya bila di dalam penyusunan ini bayak terdapat kekeliruan dan kekhilafan. Kebenaran dan kesempurnaan hanyalah milik Allah, semoga Allah mengampuni dosa kita semua. Amiin...


Tim Penyusun



DAFTAR ISI
MAKALAH
HUKUM DAGANG
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang   ...................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah   .............................................................................................................3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PEMBAHASAN
2.1 pembaruan hukum kontrak di Indonesia dalam perdagangan dan transaksi bisnis internasional  ..9
2.2 Hukum yang mengatur kontrak dagang di Indonesia  dan Internasional   .....................................11
2.3 Asas – asas dalam kontrak dagang   ...............................................................................................19
2.4 Penyusunan kontrak dagang   ..........................................................................................................20
BAB III
KESIMPULAN


DAFTAR PUSTAKA




BAB  I
PENDAHULUAN
1.1   Latar Belakang

Dalam melakukan suatu kegiatan perusahaan memang sangat menyentuh berbagai macam pola kehidupan yang ada dalam masyarakat seperti halnya masalah-masalah kelangsungan dari pada perusahaan itu sendiri.Perubahan masyarakat dewasa ini yang sering lebih mengarah terhadap perkembangan dari pada teknologi modernisasi.Seperti yang kita ketahui , Pada zaman globalisasi saat ini tengah melanda dunia ,terutama Indonesia. Salah satu dampak yang dirasakan terutama dalam sektor hukum ekonomi , yaitu dalam hukum kotrak khususnya kontrak dagang.
Menyebabkan berkembangnya jenis kontrak , meliputi kontrak dagang nasional atau domestic yaitu suatu kontrak yang dilaksanakan antara 2 pihak baik perusahaan atau perorangan , disuatu negara dengan perusahaan atau perorangan di negara lain .

Kontrak Dagang merupakan bidang hukum yang sangat penting di era ini terutama dalam mendukung kegiatan di sektor perdagangan dan transaksi bisnis internasional. Menyatukan hubungan antara para pihak dalam lingkup internasional bukanlah persoalan yang sederhana. Hal ini menyangkut perbedaan sistem, paradigma, dan aturan hukum yang berlaku sebagai suatu aturan yang bersifat memaksa untuk dipatuhi oleh para pihak di masing-masing perusahaan bahkan Negara.

Perdagangan dewasa ini sangat pesat kemajuannya. Perkembangan tersebut tidak hanya pada apa yang diperdagangkan tetapi juga pada tata cara dari perdagangan itu sendiri. Pada awalnya perdagangan dilakukan secara barter antara dua belah pihak yang langsung bertemu dan bertatap muka yang kemudian melakukan suatu kesepakatan mengenai apa yang akan dipertukarkan tanpa ada suatu perjanjian. Setelah ditemukannya alat pembayaran maka lambat laun berter berubah menjadi kegiatan jual beli sehingga menimbulkan perkembangan tata cara perdagangan. Tata cara perdagangan kemudian berkembang dengan adanya suatu perjanjian diantara
kedua belah pihak yang sepakat mengadakan suatu perjanjian perdagangan yang di dalam perjanjian tersebut mengatur mengenai apa hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak.

Bagi suatu perusahaan penentuan kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah, apakah pengukuran dan pengakuan pendapatan harus sesuai dengan prinsip akuntansi yang diterima umum. Hal ini penting dan harus dilaksanakan. Pengakuan perlu dilakukan pada saat yang tepat atas suatu kejadian ekonomi yang menghasilkan pendapatan. Jumlah pendapatan yang diakui juga harus diukur secara tepat dan pasti. Permasalahan ini akan selalu muncul bila terjadi sebuah transaksi yang berhubungan dengan pendapatan dalam suatu perdagangan

Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya, dari yang berupa hubungan jual beli barang, pengiriman dan penerimaan barang, produksi barang dan jasa berdasarkan suatu kontrak dan lain-lain. Semua transaksi tersebut sarat dengan potensi untuk melahirkan suatu sengketa. Umumnya sengketa-sengketa dagang kerap didahului dengan penyelesaian sengketa dengan cara negosiasi. Jika cara penyelesaian negosiasi gagal atau tidak berhasil, barulah ditempuh cara-cara lainnya seperti penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau arbitrase. Penyerahan sengketa, baik kepada pengadilan maupun ke arbitrase, kerap kali didasarkan pada suatu perjanjian di antara para pihak. Langkah yang biasa ditempuh adalah dengan membuat suatu perjanjian atau memasukkan suatu klausul penyelesaian sengketa ke dalam kontrak atau perjanjian yang mereka buat, baik ke pengadilan atau ke badan arbitrase. Dasar hukum bagi forum atau badan penyelesaian sengketa yang akan menangani sengketa adalah kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut diletakkan baik pada waktu kontrak ditandatangani atau setelah sengketa timbul..


Kontrak dapat diartikan dengan perjanjian, hal mendasar perbedaan pengertian kontrak dan perjanjian, yaitu kontrak merupakan suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis,akan tetapi pada dasrnya kontrak adalah dokumen tertulis yang memuat keinginan – keinginan para pihak untuk mencapai tujuan komersilnya serta bagaimana pihak yang diuntungkan dilindungi ,atau dibatasi dalam tanggung jawabnya dalam mencapai tujuan tersebut, sedangkan perjanjian merupakan semua bentuk hubungan antara dua pihak dimana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk melakukan sesuatu hal. Perjanjian tidak membedakan apakah perjanjian tersebut dibuat tertulis maupun tidak, sehingga kontrak dapat diartikan sebagai perjanjian secara sempit, yaitu hanya yang berbentuk tertulis. Hal ini memberikan arti bahwa kontrak dapat disamakan dengan perjanjian. Perjanjian terjadi antara kedua belah pihak yang saling berjanji, kemudian timbul kesepakatan yang mengakibatkan adanya suatu perikatan diantara kedua belah pihak tersebut. Perikatan terdapat di dalam perjanjian karena perikatan dapat ditimbulkan oleh perjanjian disamping oleh undang-undang. Hal tersebut daitur dan disebutkan dalam Pasal 1233 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata yang berbunyi: ”Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan baik karena undang-undang”. Pengertian perikatan tidak terdapat dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akan tetapi menurut ilmu pengetahuan hukum, perikatan dapat diartikan sebagai hubungan yang terjadi diantara dua orang atau lebih,yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lainnya wajib memenuhi prestasi itu.

Argumentasi kritis mengenai penggunaan istilah kontrak atau perjanjian disumbangkan oleh Peter Mahmud Marzuki dengan melakukan perbandingan terhadap pengertian kontrak atau perjanjian dalam sistem Anglo-American. Sistematika Buku III tentng Verbintenissenrecht (hukum Perikatan) mengatur mengenai overeenkomst yang kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti perjanjian. Istilah kontrak merupakan terjemahan dari Bahasa Inggeris Contract. Didalam konsep kontinental, penempatan pengaturan perjanjian pada Buku III BW Indonesia tentang Hukum Perikatan mengindikasikan bahwa perjanjian memang berkaitan dengan masalah Harta Kekayaan (Vermogen). Pengertian perjanjian ini mirip dengan contract pada konsep Anglo-American yang selalu berkaitan dengan bisnis. Di dalam pola pikir Anglo-American, perjanjian yang bahasa Belanda-nya overeenkomst, dalam Bahasa Inggris disebut agreement yang mempunyai pengertian lebih luas dari contract, karena mencakup hal-hal yang berkaitan dengan bisnis atau bukan bisnis. Untuk agreement yang berkaitan dengan bisnis disebut kontrak, sedangkan untuk yang tidak terkait dengan bisnis hanya disebut agreement.

Perikatan terdapat di dalam perjanjian karena perikatan dapat ditimbulkan oleh perjanjian disamping oleh undang-undang. Hal tersebut daitur dan disebutkan dalam Pasal 1233 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata yang berbunyi: ”Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan baik karena undang-undang”. Pengertian perikatan tidak terdapat dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akan tetapi menurut ilmu pengetahuan hukum, perikatan dapat diartikan sebagai hubungan yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lainnya wajib memenuhi prestasi itu Sebagai realisasi dari perikatan yang terdapat di dalam perjanjian, maka diatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi masing-masing pihak.

Dan bagaimanakah bila kontrak dagang dilakukan oleh pengusaha – pengusaha dari berbagai negara . Itu bisa kita ketahui dari hukum nasional di masing-masing negara yang berkaitan dengan hukum kontrak pada kenyataanya sangat beragam karena adanya perbedaan sistem hukum di masing-masing negara tersebut. Kalaupun ada persamaan, hanya terkait dengan prinsip-prinsip umum yang belum dapat diaplikasikan secara nyata sebagai pedoman dalam pembentukan kontrak internasional yang lingkup objeknya begitu luas, sedangkan aturan-aturan yang sifatnya substantif berbeda di masing-masing negara. Kondisi seperti ini tentunya tidak kondusif bagi aktivitas dunia bisnis internasional. Adanya perbedaan aturan di masing-masing negara akan menghambat pelaksanaan transaksi bisnis internasional yang menghendaki kecepatan dan kepastian .
                      
1.2   Rumusan Masalah

1. jelaskan pembaruan hukum kontrak/perjanjian di Indonesia dalam rangka mendukung  dan  meningkatkan pelaksanaan perdagangan dan transaksi bisnis internasional?

2. Bagaimana hukum yang mengatur kontrak dagang di Indonesia  dan Internasional ?

3. Apakah asas – asas yang terdapat dalam kontrak dagang ?

4. Terangkan mengenai penyusunan kontrak dagang yang benar ?



BAB  II

TINJAUAN PUSTAKA



2. 1 pembaruan hukum kontrak di Indonesia dalam perdagangan dan transaksi bisnis internasional
2. 1 . 2 Hukum kontrak perdagangan dan transaksi bisnis internasional

kontrak internasional sebagai kontrak nasional yang terdapat unsur luar negeri (Secara teoritis, unsur asing dalam suatu kontrak nasional yaitu:

1. kebangsaan yang berbeda;

2. para pihak memiliki domisili hukum di negara yang berbeda;

3. hukum yang dipilih adalah hukum asing, termasuk aturan atau prinsip kontrak kontrak internasional terhadap kontrak tersebut;

4. pelaksanaan kontrak di luar negeri;

5. penyelesaian sengketa kontrak dilakukan di luar negeri;

6. kontrak tersebut ditandatangani di luar negeri;

7. objek kontrak di luar negeri;

8. bahasa yang digunakan dalam kontrak adalah bahasa asing; dan

9. digunakannya mata uang asing dalam kontrak tersebut
(Sudargo Gautama , 1976 : 7 )

2. 1. 3 Pembaharuan kontrak dalam Indonesia
Dan pada hukum nasional di masing-masing negara terutama indonesia yang berkaitan dengan hukum kontrak pada kenyataanya sangat beragam karena adanya perbedaan sistem hukum di masing-masing negara tersebut. Kalaupun ada persamaan, hanya terkait dengan prinsip-prinsip umum yang belum dapat diaplikasikan secara nyata sebagai pedoman dalam pembentukan kontrak internasional yang lingkup objeknya begitu luas, sedangkan aturan-aturan yang sifatnya substantif berbeda di masing-masing negara. Kondisi seperti ini tentunya tidak kondusif bagi aktivitas dunia bisnis internasional. Adanya perbedaan aturan di masing-masing negara akan menghambat pelaksanaan transaksi bisnis internasional yang menghendaki kecepatan dan kepastian. (Sudargo Gautama  1976 : 29 ).

Dengan mengacu pada pendekatan hukum dalam pembangunan ekonomi, maka hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut: Pertama, hukum harus dapat membuat prediksi yaitu apakah hukum itu dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi pelaku dalam memprediksi kegiatan apa yang dilakukan untuk proyeksi pengembangan ekonomi. Kedua, hukum itu mempunyai kemampuan prosedural dalam penyelesaian sengketa. Misalnya dalam mengatur peradilan tribunal, penyelesaian sengketa diluar pengadilan, dan penunjukan arbitrer, dan lembaga-lembaga yang berfungsi sama dalam penyelesaian sengketa. Ketiga, pembuatan, pengkodifikasian hukum oleh pembuat hukum bertujuan untuk pembangunan negara. Keempat, hukum itu setelah mempunyai keabsahan, agar mempunyai kemampuan maka harus dibuat pendidikannya dan selanjutnya disosialisasikan. Kelima, hukum itu dapat berperan menciptakan keseimbangan karena hal ini berkaitan dengan inisiatif pembangunan ekonomi. Keenam, hukum itu berperan dalam menentukan definisi dan status yang jelas. Dalam hal ini hukum tersebut harus memberikan definisi dan status yang jelas mengenai segala sesuatu dari orang. Ketujuh, hukum itu harus dapat mengakomodasi keseimbangan, definisi dan status yang jelas bagi kepentingan inividu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Terakhir, tidak kalah pentingnya dan harus ada dalam pendekatan hukum sebagai dasar pembangunan adalah unsur stabilitas. ( Bismar Nasution  , 2003 )





2. 2 Hukum yang mengatur kontrak dagang di Indonesia  dan Internasional
2. 2 .1 Hukum kontrak dagang Nasional
Kewenangan mengatur ini mencakup membuat hukum (nasional) baik yang sifatnya hukum publik maupun hukum perdata (privat). Kewenangan atas peristiwa hukum di sini dapat berupa transaksi jual beli dagang internasional atau transaksi dagang internasional. Dalam hal ini, hukum nasional yang dibuat suatu Negara dapat mencakup hukum perpajakan, kepabeanan, ketenagakerjaan, persaingan sehat, perlindungan konsumen, kesehatan, perlindungan HKI hingga perijinan ekspor impor suatu produk. ( Ramlan Ginting , 2000 : 48 )
Kewenangan atas subjek hukum (pelaku atau stakeholders) dalam perdagangan intenasional, mencakup kewenangan Negara dalam membuat dan meletakkan syarat-syarat (dan izin) berdirinya suatu perusahaan, bentuk-bentuk perusahaan beserta syarat-syaratnya, hingga pengaturan berakhirnya perusahaan (dalam hal perusahaan pailit dan sebagainya). Kewenangan Negara untuk mengatur atas suatu benda yang berada di dalam wilayahnya mencakup pengaturan objek-objek apa saja yang dapat atau tidak dapat untuk diperjualbelikan, termasuk didalamnya adalah larangan untuk masuknya produk-produk yang dianggap membahayakan moral, kesehatan manusia, tanaman, lingkungan, produk tiruan dan lain-lain.
Sumber hukum perdagangan internasional yang sebenarnya merupakan sumber utama dan terpenting adalah perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh para pedagang sendiri. Para pelaku perdagangan (pedagang) atau stakeholders dalam hukum perdagangan internasional ketika melakukan transaksi-transaksi perdagangan internasional, mereka menuangkannya dalam perjanjian-perjanjian tertulis (kontrak). Oleh karena itu, kontrak sangat essensial. Dengan demikian, kontrak berperan sebagai sumber hukum yang perlu dan terlebih dahulu mereka jadikan acuan penting dalam melaksanakan hak dan kewajiban mereka dalam perdagangan internasional. Dalam kontrak kita mengenal penghormatan dan pengakuan terhadap prinsip konsensus dan kebebasan para pihak syarat-syarat perdagangan dan hak serta kewajiban para pihak seluruhnya diserahkan kepada para pihak dan hukum menghormati kesepakatan ini yang tertuang dalam perjanjian. Meskipun kebebasan para pihak sangatlah essensial, namun kebebasan tersebut ada batas-batasanya, yaitu ;
(1) pembatasan yang umum adalah kebebasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, dan dalam taraf tertentu, dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kesopanan,
(2) status dari kontrak itu sendiri. Kontrak dalam perdagangan internasional tidak lain adalah kontrak nasional yang ada unsure asingnya, artinya kontrak tersebut meskipun di bidang perdagangan internasional paling tidak tunduk dan dibatasi oleh hukum nasional (suatu Negara tertentu),
(3) pembatasan lain yang juga penting dan mengikat para pihak adalah kesepakatan-kesepakatan atau kebiasaan-kebiasaan dagang yang sebelumnya dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan. ( Ade Maman , 2004 : 183 )

2. 3 Asas – asas dalam kontrak dagang
2. 3. 2 Asas – asas dalam kontrak dagang
Dalam menyusun suatu kontrak atau perjanjian baik itu bersifat bilateral dan multilateral maupun dalam lingkup nasional, regional dan internasional harus didasari pada prinsip hukum dan klausul tertentu. Dalam hukum perdata dikenal beberapa prinsip dasar yang harus diterapkan dalam penyusunan kontrak sehingga akan terhindar dari unsur-unsur yang dapat merugikan para pihak pembuat suatu kontrak yang mereka sepakati. Prinsip dan klausul dalam kontrak dimaksud adalah sebagai berikut:
Asas Kebebasan Berkontrak. Berdasarkan prinsip ini, para pihak berhak menentukan apa saja yang ingin mereka sepakati, sekaligus untuk menentukan apa yang tidak ingin dicantumkan di dalam isi perjanjian, tetapi bukan berarti tanpa batas. Dalam KUHPerdata, asas kebebasan berkontrak ini diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang dirumuskan sebagai: (a) Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya; (b) Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu; (c) Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
Asas Konsensualitas. Suatu perjanjian timbul apabila telah ada konsensus atau persesuaian kehendak antara para pihak. Dengan kata lain, sebelum tercapainya kata sepakat, perjanjian tidak mengikat. Konsensus tersebut tidak perlu ditaati apabila salah satu pihak menggunakan paksaan, penipuan ataupun terdapat kekeliruan akan objek kontrak.
Asas Kebiasaan. Suatu perjanjian tidak mengikat hanya untuk hal-hal yang diatur secara tegas saja dalam peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan sebagainya, tetapi juga hal-hal yang menjadi kebiasaan yang diikuti masyarakat umum. Jadi, sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan. Dengan kata lain, hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukan dalam persetujuan meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. (Pasal 1339 BW).
Asas Peralihan Resiko. Dalam sistem hukum Indonesia, beralihnya suatu resiko atas kerugian yang timbul merupakan suatu prinsip yang berlaku untuk jenis-jenis perjanjian tertentu seperti pada persetujuan jual beli, tukar menukar, pinjam pakai, sewa menyewa, pemborongan pekerjaan, dan lain sebagainya, walaupun tidak perlu dicantumkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Meskipun demikian, para pihak boleh mengaturnya sendiri mengenai peralihan resiko itu, sepanjang tidak bertentangan dengan undang undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Asas Ganti kerugian. Penentuan ganti kerugian merupakan tugas para pembuat perjanjian untuk memberikan maknanya serta batasan ganti kerugian tersebut karena prinsip ganti rugi dalam sistem hukum Indonesia mungkin berbeda dengan prinsip ganti kerugian menurut sistem hukum asing. Dalam KUHPerdata Indonesia, prinsip ganti kerugian ini diatur dalam pasal 1365, yang menentukan; “Setiap perbuatan melanggar hukum yang menmbawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian tersebut.” Dengan demikian, untuk setiap perbuatan yang melawan hukum karena kesalahan mengakibatkan orang lain dirugikan, maka ia harus mengganti kerugian yang diderita orang lain, tetapi harus dibuktikan adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian dimaksud sebab tidak akan ada kerugian jika tidak terdapat hubungan antara perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh si pelaku dengan timbulnya kerugian tersebut.
Asas Kepatutan (Equity Principle). Prinsip kepatutan ini menghendaki bahwa apa saja yang akan dituangkan di dalam naskah suatu perjanjian harus memperhatikan prinsip kepatutan  (kelayakan/ seimbang), sebab melalui tolak ukur kelayakan ini hubungan hukum yang ditimbulkan oleh suatu persetujuan itu ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat (KUH-Perdata: pasal 1339). Dengan begitu, setiap persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dimuat dalam naskah perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh “kepatutan”, kebiasaan atau undang undang.
Asas Ketepatan Waktu. Setiap kontrak, apapun bentuknya harus memiliki batas waktu berakhirnya, yang sekaligus merupakan unsur kepastian pelaksanaan suatu prestasi (obyek kontrak). Prinsip ini sangatlah penting dalam kontrak-kontrak tertentu, misalnya kontrak-kontrak yang berhubungan dengan proyek konstruksi dan proyek keuangan, di mana setiap kegiatan yang telah disepakati harus diselesaikan tepat waktu. Prinsip ini penting untuk menetapkan batas waktu berakhirnya suatu kontrak. Dalam setiap naskah kontrak harus dimuat secara tegas batas waktu pelaksanaan kontrak. Jika prestasi tidak dilaksanakan sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati, salah satu pihak telah wanprestasi atau telah melakukan cidera janji yang menjadikan pihak lainnya berhak untuk menuntut pemenuhan prestasi ataupun ganti kerugian.
Asas Keadaan darurat (Force Majeure). Force majeure principle ini merupakan salah satu prinsip yang sangat penting dicantumkan dalam setiap naskah kontrak, baik yang berskala nasional, regional, maupun kontrak internasional. Hal ini penting untuk mengantisipasi situasi dan kondisi yang melingkupi objek kontrak. Jika tidak dimuat dalam naskah suatu kontrak, maka bila terjadi hal-hal yang berada di luar kemampuan manusia, misalnya gempa bumi, banjir, angin topan, gunung meletus, dan lain sebagainya, siapa yang bertanggung jawab atas semua kerugian yang ditimbulkan oleh bencana alam tersebut. ( Sudargo Gautama , 1985 )
2. 4 Penyusunan kontrak dagang
2. 4 . 2 )
            a) Pemahaman akan latar belakang transaksi
b) Pengenalan dan pemahaman akan para pihak
c) Pengenalan dan pemahaman akan objek transaksi
d) Penyusunan garis besar transaksi
e) Perumusan pokok-pokok kontrak











                                                            PEMBAHASAN

2. 1 pembaruan hukum kontrak di Indonesia dalam perdagangan dan transaksi bisnis internasional

Kontrak internasional memiliki posisi yang sangat penting sebagai rujukan yang paling utama bagi para pihak dalam pelaksanaan suatu hal yang diperjanjikan, bahkan sampai pada penentuan bagaimana cara penyelesaian yang akan ditempuh jika dikemudian hari pelaksanaan kontrak tidak dapat direalisasikan sebagaimana mestinya.

kontrak internasional sebagai kontrak nasional yang terdapat unsur luar negeri (Secara teoritis, unsur asing dalam suatu kontrak nasional yaitu:

1. kebangsaan yang berbeda;

2. para pihak memiliki domisili hukum di negara yang berbeda;

3. hukum yang dipilih adalah hukum asing, termasuk aturan atau prinsip kontrak kontrak internasional terhadap kontrak tersebut;

4. pelaksanaan kontrak di luar negeri;

5. penyelesaian sengketa kontrak dilakukan di luar negeri;

6. kontrak tersebut ditandatangani di luar negeri;

7. objek kontrak di luar negeri;

8. bahasa yang digunakan dalam kontrak adalah bahasa asing; dan

9. digunakannya mata uang asing dalam kontrak tersebut

Dan pada hukum nasional di masing-masing negara terutama indonesia yang berkaitan dengan hukum kontrak pada kenyataanya sangat beragam karena adanya perbedaan sistem hukum di masing-masing negara tersebut. Kalaupun ada persamaan, hanya terkait dengan prinsip-prinsip umum yang belum dapat diaplikasikan secara nyata sebagai pedoman dalam pembentukan kontrak internasional yang lingkup objeknya begitu luas, sedangkan aturan-aturan yang sifatnya substantif berbeda di masing-masing negara. Kondisi seperti ini tentunya tidak kondusif bagi aktivitas dunia bisnis internasional. Adanya perbedaan aturan di masing-masing negara akan menghambat pelaksanaan transaksi bisnis internasional yang menghendaki kecepatan dan kepastian.

Apalagi Indonesia masih miskin yurisprudensi untuk dijadikan suatu pedoman .  Permasalahan ini menjadi lebih runyam lagi apabila ternyata hukum yang berlaku di suatu negara adalah produk hukum yang sudah lama  atau belum mengakomodir perkembangan yang ada. Kondisi demikian terjadi di Indonesia yang mana aturan umum mengenai kontrak/perjanjian masih berpedoman pada produk hukum kolonial yang sudah lama. Dalam kaitannya dengan hukum kontrak internasional, ketentuan KUHPerd khususnya Buku Ketiga tentang Perikatan dan lebih khusus lagi diatur dalam Bab II tentang Perikatan yang Lahir dari Perjanjian belum sepenuhnya mengakomodir prinsip-prinsip kontrak internasional sehingga masih menyisakan permasalahan berkaitan dengan kontrak dalam kegiatan perdagangan dan transaksi bisnis internasional. Pengaturan kontrak/perjanjian dalam KUHPerd semakin terpinggirkan seiring dengan semakin kompleks dan rumitnya kontrak yang dibentuk terutama yang bersifat lintas negara. Ketentuan hukum perikatan dalam KUHPerd sebagian sudah lama seiring dengan arus globalisasi yang semakin deras yang lebih mengedepankan aturan yang dikenal dengan convention law, community law, dan model law.

KUHPerd sendiri sebenarnya memang diakui bukan produk hukum yang ideal untuk diberlakukan seterusnya dan sesegera mungkin perlu dibuat undang-undang baru yang mengatur masalah keperdataan secara lebih komprehensif, sistematis, dan aplikatif. Status KUHPerd sebagai Undang-Undang pun menjadi perdebatan di kalangan para ahli yang terbagi menjadi kelompok pro dan kontra. Bagi yang pro, KUHPerd adalah Undang-Undang karena pencabutan bagian-bagian dari KUHPerd dituangkan dalam bentuk Undang-Undang.Misalnya, ketentuan mengenai ketenagakerjaan dicabut melalui Undang-Undang Ketenagakerjaan dan ketentuan mengenai perkawinan dicabut melalui Undang-Undang Perkawinan. Bagi yang berpendapat sebaliknya, KUHPerd tak perlu lagi dianggap sebagai Undang-Undang. Dengan demikian, harus dilaksanakan pembaruan hukum kontrak untuk menggantikan BW yang sudah sangat tertinggal sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada tingkat perkembangan mutakhir, sesuatu yang biasa disebut sebagai modernisasi hukum.

 Dalam pembaruan hukum ini perlu dibuat pendekatan dengan pengkajian hukum yang bertujuan mencapai jaminan dan kepastian hukum bagi kegiatan investasi dan perdagangan secara global.  Pembaruan hukum kontrak sebenarnya sudah dilakukan melalui pendekatan parsial, dalam arti pembaruan hukum diprioritaskan pada bidang hukum yang sifatnya khusus mengatur sektor tertentu, misalnya adanya Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat, Undang-Undang tentang Penanaman Modal, Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, Undang - Undang tentang Perlindungan Konsumen, dan peraturan perundang-undangan sektoral lainnya yang dalam materi muatannya diatur juga mengenai kontrak/perjanjian, misalnya Peraturan Pemerintah tentang Waralaba. Pembaruan hukum kontrak secara sektoral memang memberikan kepastian hukum dalam sektor terkait. Namun tetap diperlukan aturan umum yang menentukan prinsip-prinsip perjanjian baik dari aspek formil maupun materiil agar terjadi keseragaman serta untuk mengakomodir kepentingan kontrak/perjanjian yang bersifat lintas sektoral. Dengan demikian, pembaruan hukum kontrak perlu dilakukan secara holistik, terpadu, terencana, dan sistematis, yaitu dengan melakukan revisi atau perubahan terhadap undang-undang yang mengatur secara umum (lex generalis) dalam hal ini adalah KUHPerd khususnya Buku Ketiga tentang Perikatan.

Dengan mengacu pada pendekatan hukum dalam pembangunan ekonomi, maka hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut: Pertama, hukum harus dapat membuat prediksi yaitu apakah hukum itu dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi pelaku dalam memprediksi kegiatan apa yang dilakukan untuk proyeksi pengembangan ekonomi. Kedua, hukum itu mempunyai kemampuan prosedural dalam penyelesaian sengketa. Misalnya dalam mengatur peradilan tribunal, penyelesaian sengketa diluar pengadilan, dan penunjukan arbitrer, dan lembaga-lembaga yang berfungsi sama dalam penyelesaian sengketa. Ketiga, pembuatan, pengkodifikasian hukum oleh pembuat hukum bertujuan untuk pembangunan negara. Keempat, hukum itu setelah mempunyai keabsahan, agar mempunyai kemampuan maka harus dibuat pendidikannya dan selanjutnya disosialisasikan. Kelima, hukum itu dapat berperan menciptakan keseimbangan karena hal ini berkaitan dengan inisiatif pembangunan ekonomi. Keenam, hukum itu berperan dalam menentukan definisi dan status yang jelas. Dalam hal ini hukum tersebut harus memberikan definisi dan status yang jelas mengenai segala sesuatu dari orang. Ketujuh, hukum itu harus dapat mengakomodasi keseimbangan, definisi dan status yang jelas bagi kepentingan inividu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Terakhir, tidak kalah pentingnya dan harus ada dalam pendekatan hukum sebagai dasar pembangunan adalah unsur stabilitas.






2. 2 Hukum yang mengatur kontrak dagang di Indonesia  dan Internasional

            Peran hukum nasional sebagai sumber hukum perdagangan internasional mulai lahir ketika timbul sengketa sebagai pelaksanaan dari kontrak. Peran hukum nasional sebenarnya sangatlah luas dari sekedar mengatur kontrak dagang internasional. Peran signifikan dari hukum nasional lahir dari adanya yurisdiksi (kewenangan) Negara. Kewenangan Negara ini sifatnya mutlak dan eksklusif, artinya apabila tidak ada pengecualian lain, kekuasaan itu tidak dapat diganggu gugat. Yurisdiksi atau kewenangan tersebut adalah kewenangan suatu Negara untuk mengatur segala, :
(a) peristiwa hukum;
(b) subjek hukum;
(c) benda yang berada di dalam wilayahnya.
Kewenangan mengatur ini mencakup membuat hukum (nasional) baik yang sifatnya hukum publik maupun hukum perdata (privat). Kewenangan atas peristiwa hukum di sini dapat berupa transaksi jual beli dagang internasional atau transaksi dagang internasional. Dalam hal ini, hukum nasional yang dibuat suatu Negara dapat mencakup hukum perpajakan, kepabeanan, ketenagakerjaan, persaingan sehat, perlindungan konsumen, kesehatan, perlindungan HKI hingga perijinan ekspor impor suatu produk.
Kewenangan atas subjek hukum (pelaku atau stakeholders) dalam perdagangan intenasional, mencakup kewenangan Negara dalam membuat dan meletakkan syarat-syarat (dan izin) berdirinya suatu perusahaan, bentuk-bentuk perusahaan beserta syarat-syaratnya, hingga pengaturan berakhirnya perusahaan (dalam hal perusahaan pailit dan sebagainya). Kewenangan Negara untuk mengatur atas suatu benda yang berada di dalam wilayahnya mencakup pengaturan objek-objek apa saja yang dapat atau tidak dapat untuk diperjualbelikan, termasuk didalamnya adalah larangan untuk masuknya produk-produk yang dianggap membahayakan moral, kesehatan manusia, tanaman, lingkungan, produk tiruan dan lain-lain.
Sumber hukum perdagangan internasional yang sebenarnya merupakan sumber utama dan terpenting adalah perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh para pedagang sendiri. Para pelaku perdagangan (pedagang) atau stakeholders dalam hukum perdagangan internasional ketika melakukan transaksi-transaksi perdagangan internasional, mereka menuangkannya dalam perjanjian-perjanjian tertulis (kontrak). Oleh karena itu, kontrak sangat essensial. Dengan demikian, kontrak berperan sebagai sumber hukum yang perlu dan terlebih dahulu mereka jadikan acuan penting dalam melaksanakan hak dan kewajiban mereka dalam perdagangan internasional. Dalam kontrak kita mengenal penghormatan dan pengakuan terhadap prinsip konsensus dan kebebasan para pihak syarat-syarat perdagangan dan hak serta kewajiban para pihak seluruhnya diserahkan kepada para pihak dan hukum menghormati kesepakatan ini yang tertuang dalam perjanjian. Meskipun kebebasan para pihak sangatlah essensial, namun kebebasan tersebut ada batas-batasanya, yaitu ;
(1) pembatasan yang umum adalah kebebasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, dan dalam taraf tertentu, dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kesopanan,
(2) status dari kontrak itu
sendiri. Kontrak dalam perdagangan internasional tidak lain adalah kontrak nasional yang ada unsure asingnya, artinya kontrak tersebut meskipun di bidang perdagangan internasional paling tidak tunduk dan dibatasi oleh hukum nasional (suatu Negara tertentu),
(3) menurut Sanson, pembatasan lain yang juga penting dan mengikat para pihak adalah kesepakatan-kesepakatan atau kebiasaan-kebiasaan dagang yang sebelumnya dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan.
Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. (Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional).

Perlindungan hukum terhadap hubungan antar orang atau antar perusahaan yang bersifat lintas batas negara dapat dilakukan secara publik maupun privat. Perlindungan secara publik dilakukan dengan cara memanfaatkan fasilitas perlindungan yang disediakan oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat publik, seperti peraturan perundang - undangan domestik dan perjanjian-perjanjian internasional, bilateral maupun universal, yang dimaksudkan demikian. Perlindungan secara privat dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan fasilitas perlindungan hukum yang bersifat privat.

Dalam dunia bisnis, jenis hukum privat merupakan pilihan yang paling populer. Jenis ini digunakan secara luas oleh masyarakat bisnis yang terlibat dalam transaksi lintas batas negara. Beberapa alasan yang mengakibatkan penggunaan seperti adalah: pertama; berubahnya orientasi masyarakat dunia setelah Perang Dunia II ke arah pembangunan ekonomi global. Kedua; pesatnya pertumbuhan kebijakan, bentuk dan materi transaksi bisnis internasional. Ketiga; kurang lengkapnya materi hukum publik (sistem perundang-undangan) berkaitan dengan variasi bentuk,materi,transaksi.

Sebelum menjalin kontrak dengan seseorang yang berkewarganegaraan lain, terlebih dahulu harus memahami sistem hukum yang mempengaruhi kontrak di negara tersebut. Juga harus memahami perbedaan sistem hukum di negara masing-masing. Pengetahuan ini sama pentingnya dengan mengecek latar belakang calon mitra masing-masing, karena dua alasan. Pertama, hukum di kedua negara akan menentukan aspek tertentu dalam hubungan kontraktual. Kedua, hukum di salah satu negara mungkin lebih menguntungkan dari pada di negara lain.

Setelah mengetahui kesulitan yang dihadapi oleh pihak-pihak yang menjalin kontrak lintas negara, masyarakat internasional mulai mengadopsi sitem hukum dan peraturan yang bisa diterapkan dalam transaksi pihak-pihak yang berlokasi di negara yang berbeda. Tujuan dari pengadopsian hukum internasional yang seragam adalah untuk memastikan bahwa semua pihak yang melakukan transaksi lintas batas negara menjadi subjek seperangkat peraturan yang sama, tidak peduli bahwa hukum yang berlaku di negaranya masing-masing berbeda.
Secara umum sangatlah tidak bijaksana mendasarkan persyaratan kontrak pada hukum, bahkan hukum internasioanal sekalipun. Penerapan hukum internasional untuk menafsirkan sebuah kontrak bisa mengarah pada hasil yang tidak diduga dan tidak diinginkan.

Misalnya, dalam suatu kontrak jual beli internasional, penjual gagal memenuhi batas waktu pengiriman yang ditetapkan. Kemudian pembeli menuntut penjual karena kegagalan memenuhi batas waktu pengiriman satu bulan. Di negara pembeli, kontrak tersebut mungkin dianggap tidak valid karena ada persyaratan penting yang tidak dimasukkan. Tetapi jika di pengadilan menerapkan hukum internasional, berdasarkan praktek yang biasa berjalan dalam industri tersebut mungkin akan menetapkan dua bulan sebagai waktu penyerahan yang masuk akal.
Untuk menghindari hasil yang tidak menyenangkan dan di duga, ketika melakukan kontrak dengan pihak negara lain, harus didefinisikan dengan tepat hak dan kewajiban dalam kontrak tertulis. Kontrak harus menyatakan secara jelas persyaratan-persyaratannya sehingga kedua pihak akan memahami apa yang harus dilakukan dan apa yang harus diterima.
Kontrak yang dikonsep dengan baik akan sangat membantu memastikan bahwa pihak-pihak yang memiliki latar belakang budaya berbeda mencapai pemahaman bersama dengan mempertimbangkan hak dan kewajiban masing-masing. Semua pihak yang menjalin kontrak hadir dengan ekspektasi masing-masing, yang pada gilirannya mewarnai pemahaman mereka terhadap persyaratan-persyaratan yang dicantumkan dalam kontrak. Sesuatu yang masuk akal bagi satu pihak, mungkin tidak bisa diterima akal pihak lain, hal mana perlu di bicarakan bersama sehingga muncul pemahaman yang sama.Hal ini merupakan elemen penting dalam pembuatan.

Kontrak yang mencerminkan ekspektasi budaya masing-masing pihak kemungkinan besar bisa dijalankan secara memuaskan bagi kedua pihak. Pemahaman bersama tidak sekedar berarti bahwa masing-masing pihak memahami hak dan kewajibannya sebelum membubuhkan tanda tangan, tetapi pihak-pihak tersebut harus memiliki kesepakatan yang tuntas mengenai hak dan kewajiban.Persengketaan biasanya muncul ketika salah satu pihak menafsirkan hak dan kewajiban dengan cara yang berbeda dengan pihak lain.Ada kecenderungan hukum di banyak negara -dan sudah pasti pada gilirannya hukum internasional di antara berbagai negara- untuk mengakui kontrak sebagai basis transaksi bisnis, meskipun kontrak tersebut tidak mencakup seluruh persyaratan yang esensial. Jika muncul persengketaan dan ternyata persyaratan yang esensial tersebut ada yang tidak tercakup, atau tidak jelas maksud dari masing-masing pihak, bisa didasarkan pada praktek perdagangan atau keuangan yang sudah biasa dilakukan.
Pada dasarnya, hakim, arbitrator, pembuat peraturan, dan pembuat hukum lebih menyukai kesepakatan bisnis yang dibuat berdasarkan kebiasaan praktek bisnis. Ada anggapan apabila individu atau konsumen berada dalam payung adat istiadat berbisnis, mereka lebih terlindungi dari kesepakatan yang merugikan akibat kontrak yang dibuatnya tidak mencantumkan seluruh persyaratan esensial. Tetapi untuk amannya, setiap kali melakukan transaksi jangan mendasarkan pada kontrak kebiasaan semata tetapi harus selalu menyatakan maksud dalam persyaratan yang tertulis.

Secara garis besar di dunia ini meskipun dikenal ada lima sistem hukum, yaitu; Civil law, common law, socialis law, islamic law dan sistem hukum adat, tetapi sesungguhnya yang dominan dipakai di dunia internasional hanyalah dua, yaitu sistem hukum civil law dan common law.

Dalam pembentukan kontrak, terdapat perbedaan antara common law dan civil law. Akibat perbedaan ini sangat mempengaruhi dalam penyusunan ketentuan kontrak internasional. Sehubungan dengan perbedaan dalam sistem hukum tersebut, maka kemudian dalam rangka merancang suatu kontrak atau pembuatan suatu konsep perjanjian pun dengan sendirinya mengacu pada sistem hukum yang dianut. Namun zaman terus bergerak, dan tiba saatnya era globalisasi yang juga mau tidak mau mempengaruhi sistem hukum yang diterapkan,apabila terjadi perjumpaan antara sistem hukum yang berlainan.

Common Law
Dalam pembuatan kontrak di sistem common law, para pihak memiliki kebebasan untuk menyepakati persyaratan yang diinginkan, sepanjang persyaratan tersebut tidak melanggar kebijakan publik ataupun melakukan tindakan yang melanggar hukum. Jika ada persyaratan tertentu yang tidak tercakup, hak dan kewajiban yang wajar akan diterapkan diambil dari ketetapan hukum yang ada atau praktek bisnis yang biasa dijalankan oleh para pihak atau industri. Peraturan ini memberi kesempatan kepada satu pihak untuk menggugat kerugian sejumlah manfaat yang bisa dibuktikan yang akan diperoleh pihak tersebut jika pihak lain tidak melanggar kontrak. Di kebanyakan jurisdiksi, salah satu pihak diminta untuk membayar ganti rugi akibat pelanggaran, yang dikenal sebagai konsekuensi kerugian.Kontrak menurut sistem hukum common law, memiliki unsur sebagai berikut:

A. Bargain
Unsur bargain dalam kontrak common law dapat memiliki sifat memaksa. Sejarah menunjukkan bahwa pemikiran mengenai bargain,dalam hubungannya dengan konsep penawaran (offer)dianggap sebagai ujung tombak dari sebuah perjanjian dan merupakan sumber dari hak yang timbul dari suatu kontrak. Penawaran dalam konteks ini tidak lebih adalah sebuah transaksi di mana para pihak setuju untuk melakukan pertukaran barang-barang, tindakan-tindakan, atau janji-janji antara satu pihak dengan pihak yang lain. Karena itu, maka ukuran dari pengadilan terhadap perjanjian tersebut dilakukan berdasarkan penyatuan pemikiran dari para pihak, ditambah dengan sumber dari kewajiban mereka, dan kemudian memandang ke arah manifestasi eksternal dari pelaksanaan perjanjian tersebut. Pengertian penawaran merupakan suatu kunci yang digunakan untuk lebih mengerti tentang penerapan aturan-aturan common law mengenai kontrak.

B. Agreement
Suatu proses transaksi yang biasa disebut dengan istilah offer and acceptance, yang ketika diterima oleh pihak lainnya akan memberikan akibat hukum dalam kontrak. Dalam perjanjian sering ditemukan, di mana satu pihak tidak dapat menyusun fakta-fakta ke dalam suatu offer yang dibuat oleh pihak lainnya yang telah diterima sebagai acceptance oleh pihak tersebut. Karena penawaran dan penerimaan adalah hal yang fundamental, maka dalam sistem common law, sangat diragukan apakah suatu pertukaran offer (cross-offer) itu dapat dianggap sebagai kontrak. Berdasarkan sistem common law, pada saat suatu kontrak dibuat, saat itulah hak dan kewajiban para pihak muncul, hal yang demikian itu diatur dalam statute. Karena bisa saja terjadi suatu kontrak yang dibuat berdasarkan keinginan dari para pihak dan pada saat yang sama juga kontrak tersebut tidak ada. Hal ini disebabkan karena aturan mengenai acceptance dan revocation ini memiliki akibat-akibat yang berbeda pada setiap pihak.


C. Consideration
Dasar hukum yang terdapat dalam suatu kontrak adalah adanya unsur penawaran yang kalau sudah diterima, menjadi bersifat memaksa, bukan karena adanya janji-janji yang dibuat oleh para pihak. Aturan dalam sistem common law tidak akan memaksakan berlakunya suatu janji demi kepentingan salah satu pihak kecuali ia telah memberikan sesuatu yang mempunyai nilai hukum sebagai imbalan untuk perbuatan janji tersebut. Hukum tidak membuat persyaratan dalam hal adanya suatu kesamaan nilai yang adil. Prasyarat atas kemampuan memaksa ini dikenal dengan istilah consideration . Consideration adalah isyarat, tanda dan merupakan simbol dari suatu penawaran. Tidak ada definisi dan penjelasan yang memuaskan dari sistem common law mengenai konsep ini. Hal demikian ini telah di mengerti atas dasar pengalaman.

D. Capacity
Kemampuan termasuk sebagai syarat tentang apakah para pihak yang masuk dalam perjanjian memiliki kekuasaan.Suatu kontrak yang dibuat tanpa adanya kekuasaan untuk melakukan hal tersebutdianggap tidak berlaku.Sebagai illustrasi dapat diuraikan putusan pengadilan dalam Quality Motors, Inc. V. Hays di mana memutuskan bahwa kontrak tidak sah karena dilakukan oleh individu yang belum dewasa, walaupun transaksi dilakukan oleh melalui orang lain yang telah dewasa, dan surat jual belinya di sahkan oleh notaris. Dalam kasus ini terlihat bahwa pengadilan menerapkan secara tegas dan kaku ketentuan umur untuk seseorang dapat melakukan perbuatan hukum. Walaupun jual beli akhirnya dilakukan oleh orang dewasa, namun fakta menunjukkan ternyata hal tersebut dilakukan dengan sengaja untuk melanggar ketentuan kontrak, akhirnya pengadilan membatalkan ketentuan kontrak tersebut.

Civil Law
Kebanyakan negara yang tidak menerapkan common law memiliki sistem civil law. Civil law ditandai oleh kumpulan perundang-undangan yang menyeluruh dan sistematis, yang dikenal sebagai hukum yang mengatur hampir semua aspek kehidupan.
Teori mengatakan bahwa civil law berpusat pada undang-undang dan peraturan. Undang-Undang menjadi pusat utama dari civil law, atau dianggap sebagai jantung civil law . Namun dalam perkembangannya civil law juga telah menjadikan putusan pengadilan sebagai sumber hukum.

Di banyak hukum dalam sistem civil law tidak tersedia peraturan untuk menghitung kerugian karena pelanggaran kontrak. Standar mengenai penghitungan kerugian ini masih tetap belum jelas di banyak negara dengan civil law. Meskipun demikian pengadilan di negara-negara ini cenderung memutuskan untuk menghukum pihak yang salah tidak dengan uang, tetapi dengan
Keputusan pengadilan .

Keputusan pengadilan ini mengisyaratkan salah satu pihak untuk menjalankan tindakan tertentu yang dimandatkan oleh pengadilan, seperti mengembalikan hak milik atau mengembalikan pembayaran. Banyak sistem dari civil law memiliki mekanisme penegakan dan pamantauan agar penegakan bisa dijalankan secara efektif.
Unsur kontrak dalam civil law sistem terdiri dari empat unsur, sebagai berikut:

a. Kapasitas Para Pihak
Kebebasan kehendak sangat dipengaruhi oleh kapasitas atau kemampuan seseorang yang terlibat dalam perjanjian. Kemampuan ini sangat menentukan untuk melakukan perjanjian sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Kapasitas yang dimaksudkan dalam civil law antara lain ditentukan individu menurut umur seseorang. Di Indonesia, Philipina, dan Jepang yang dianggap telah mempunyai kapasitas untuk melakukan suatu kontrak harus telah berumur 21 tahun. Civil Code Perancis yang merefleksikan pemikiran modern, menyatakan bahwa kehendak individu yang bebas adalah sumber dari sistem hukum, yang meliputi hak dan kewajiban. Namun kebebasan kehendak ini harus sesuai dengan hukum tertulis, yaitu hukum perdata.

Di Indonesia, Jepang, Iran dan Philipina, di mana perusahaan sebagai subjek hukum dapat melakukan kontrak melalui pengurus perusahaan. Di Indonesia pengurus perusahaan terdiri dari anggota direksi dan komisaris. Dalam melakukan kegiatannya, maka anggota direksi harus memenuhi ketentuan anggaran dasar perusahaan dan peraturan perundang-undangan, yang memberikan kepadanya kapasitas dalam melakukan penandatanganan kontrak dan tindakan hukum lainnya. Hal inilah yang dikatakan dalam civil law merupakan the code granted them full capacity.

b. Kebebasan Kehendak Dasar Dari Kesepakatan
Kebebasan kehendak yang menjadi dasar suatu kesepakatan, agar dianggap berlaku efektif harus tidak dipengaruhi oleh paksaan (dures), kesalahan (mistake), dan penipuan(fraud). Berkenaan dengan kebebasan kehendak, pengadilan di Perancis menerapkan ketentuan civil Code sangat kaku, yaitu tidak boleh merugikan pihak lain. Dalam kenyataan sehari-hari, walaupun yang dianggap mampu melaksanakan kebebasan kehendak ada pada orang yang sudah dewasa, namun diantara mereka tidak boleh membuat kebebasan kehendak, yang dapat merugikan pihak lain.

Kesepakatan di antara para pihak menjadi dasar terjadinya perjanjian. Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata menetukan bahwa perjanjian atau kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut memberikan petunjuk bahwa hukum perjanjian dikuasai oleh “asas konsensualisme”. Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya.


c. Subjek yang pasti
Merujuk pada kesepakatan, terdapat dua syarat di hadapan juristic act, suatu perjanjian dapat diubah menjadi efektif yaitu harus dengan ada antara lain suatu subyek yang pasti. Sesuatu yang pasti tersebut, dapat berupa hak-hak, pelayanan (jasa), barang-barang yang ada atau akan masuk keberadaannya, selama mereka dapat menentukan. Para pihak, jika perjanjian telah terbentuk tidak mungkin untuk melakukan prestasi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.


d. Suatu sebab yang diijinkan (A Premissible Cause)
Perjanjian tidak boleh melanggar ketentuan hukum. Suatu sebab yang halal adalah syarat terakhir untuk berlakunya suatu perjanjian. Pasal 1320 ayat 4 jo 1337 KUHPerdata menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang menyangkut causa yang dilarang oleh Undang-Undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum.
Perjanjian yang dibuat untuk causa yang dilarang oleh Undang-Undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan undang-undang adalah tidak sah.
Melakukan kontrak bisnis lintas batas negara, para pihak akan dihadapkan dengan pilihan hukum. Dalam penentuan pilihan hukum, dikenal beberapa prinsip dan batas pilihan hukum
Yaitu:

a. Partijautonomie
Menurut prinsip ini, para pihak yang paling berhak menentukan hukum yang hendak mereka pilih dan berlaku sebagai dasar transaksi, termasuk sebagai dasar penyelesaian sengketa sekiranya timbul suatu sengketa dari kontrak transaksi yang dibuat. Prinsip ini merupakan prinsip yang telah secara umum dan tertulis diakui oleh sebagian besar negara, seperti Eropa (Italia, Portugal, Yunani), Eropa Timur (Polandia, Cekoslowakia, Austria), negara-negara Asia-Afrika, termasuk Indonesia dan negara-negara Amerika, khususnya Kanada.


b. Bonafide
Menurut prinsip ini, suatu pilihan hukum harus didasarkan itikad baik (bonafide), yaitu semata-mata untuk tujuan kepastian, perlindungan yang adil, dan jaminan yang lebih pasti bagi pelaksanaan akibat-akibat transaksi (isi perjanjian).


c. Real Connection
Beberapa sistem hukum mensyaratkan keharusan adanya hubungan nyata antara hukum yang dipilih dengan peristiwa hukum yang hendak ditundukkan/didasarkan kepada hukum yang dipilih.

d. Larangan Penyelundupan Hukum
Pihak-pihak yang diberi kebebasan untuk melakukan pilihan hukum, hendaknya tidak menggunakan kebebasan itu untuk tujuan kesewenang-wenangan demi keuntungan sendiri.

e. Ketertiban Umum
Suatu pilihan hukum tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, yaitu bahwa hukum yang dipilih oleh para pihak tidak boleh bertentangan dengan sendi-sendi asasi hukum dan masyarakat, hukum para hakim yang akan mengadili sengketa bahwa ketertiban umum (orde public) merupakan pembatas pertama kemauan seseorang dalam melakukan pilihan hukum.
2. 3 Asas – asas dalam kontrak dagang
Dalam menyusun suatu kontrak atau perjanjian baik itu bersifat bilateral dan multilateral maupun dalam lingkup nasional, regional dan internasional harus didasari pada prinsip hukum dan klausul tertentu. Dalam hukum perdata dikenal beberapa prinsip dasar yang harus diterapkan dalam penyusunan kontrak sehingga akan terhindar dari unsur-unsur yang dapat merugikan para pihak pembuat suatu kontrak yang mereka sepakati. Prinsip dan klausul dalam kontrak dimaksud adalah sebagai berikut:
Asas Kebebasan Berkontrak. Berdasarkan prinsip ini, para pihak berhak menentukan apa saja yang ingin mereka sepakati, sekaligus untuk menentukan apa yang tidak ingin dicantumkan di dalam isi perjanjian, tetapi bukan berarti tanpa batas. Dalam KUHPerdata, asas kebebasan berkontrak ini diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang dirumuskan sebagai: (a) Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya; (b) Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu; (c) Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
Asas Konsensualitas. Suatu perjanjian timbul apabila telah ada konsensus atau persesuaian kehendak antara para pihak. Dengan kata lain, sebelum tercapainya kata sepakat, perjanjian tidak mengikat. Konsensus tersebut tidak perlu ditaati apabila salah satu pihak menggunakan paksaan, penipuan ataupun terdapat kekeliruan akan objek kontrak.
Asas Kebiasaan. Suatu perjanjian tidak mengikat hanya untuk hal-hal yang diatur secara tegas saja dalam peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan sebagainya, tetapi juga hal-hal yang menjadi kebiasaan yang diikuti masyarakat umum. Jadi, sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan. Dengan kata lain, hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukan dalam persetujuan meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. (Pasal 1339 BW).
Asas Peralihan Resiko. Dalam sistem hukum Indonesia, beralihnya suatu resiko atas kerugian yang timbul merupakan suatu prinsip yang berlaku untuk jenis-jenis perjanjian tertentu seperti pada persetujuan jual beli, tukar menukar, pinjam pakai, sewa menyewa, pemborongan pekerjaan, dan lain sebagainya, walaupun tidak perlu dicantumkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Meskipun demikian, para pihak boleh mengaturnya sendiri mengenai peralihan resiko itu, sepanjang tidak bertentangan dengan undang undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Asas Ganti kerugian. Penentuan ganti kerugian merupakan tugas para pembuat perjanjian untuk memberikan maknanya serta batasan ganti kerugian tersebut karena prinsip ganti rugi dalam sistem hukum Indonesia mungkin berbeda dengan prinsip ganti kerugian menurut sistem hukum asing. Dalam KUHPerdata Indonesia, prinsip ganti kerugian ini diatur dalam pasal 1365, yang menentukan; “Setiap perbuatan melanggar hukum yang menmbawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian tersebut.” Dengan demikian, untuk setiap perbuatan yang melawan hukum karena kesalahan mengakibatkan orang lain dirugikan, maka ia harus mengganti kerugian yang diderita orang lain, tetapi harus dibuktikan adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian dimaksud sebab tidak akan ada kerugian jika tidak terdapat hubungan antara perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh si pelaku dengan timbulnya kerugian tersebut.
Asas Kepatutan (Equity Principle). Prinsip kepatutan ini menghendaki bahwa apa saja yang akan dituangkan di dalam naskah suatu perjanjian harus memperhatikan prinsip kepatutan  (kelayakan/ seimbang), sebab melalui tolak ukur kelayakan ini hubungan hukum yang ditimbulkan oleh suatu persetujuan itu ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat (KUH-Perdata: pasal 1339). Dengan begitu, setiap persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dimuat dalam naskah perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh “kepatutan”, kebiasaan atau undang undang.
Asas Ketepatan Waktu. Setiap kontrak, apapun bentuknya harus memiliki batas waktu berakhirnya, yang sekaligus merupakan unsur kepastian pelaksanaan suatu prestasi (obyek kontrak). Prinsip ini sangatlah penting dalam kontrak-kontrak tertentu, misalnya kontrak-kontrak yang berhubungan dengan proyek konstruksi dan proyek keuangan, di mana setiap kegiatan yang telah disepakati harus diselesaikan tepat waktu. Prinsip ini penting untuk menetapkan batas waktu berakhirnya suatu kontrak. Dalam setiap naskah kontrak harus dimuat secara tegas batas waktu pelaksanaan kontrak. Jika prestasi tidak dilaksanakan sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati, salah satu pihak telah wanprestasi atau telah melakukan cidera janji yang menjadikan pihak lainnya berhak untuk menuntut pemenuhan prestasi ataupun ganti kerugian.
Asas Keadaan darurat (Force Majeure). Force majeure principle ini merupakan salah satu prinsip yang sangat penting dicantumkan dalam setiap naskah kontrak, baik yang berskala nasional, regional, maupun kontrak internasional. Hal ini penting untuk mengantisipasi situasi dan kondisi yang melingkupi objek kontrak. Jika tidak dimuat dalam naskah suatu kontrak, maka bila terjadi hal-hal yang berada di luar kemampuan manusia, misalnya gempa bumi, banjir, angin topan, gunung meletus, dan lain sebagainya, siapa yang bertanggung jawab atas semua kerugian yang ditimbulkan oleh bencana alam tersebut.
2. 4 Penyusunan kontrak dagang
 a) Pemahaman akan latar belakang transaksi
b) Pengenalan dan pemahaman akan para pihak
c) Pengenalan dan pemahaman akan objek transaksi
d) Penyusunan garis besar transaksi
e) Perumusan pokok-pokok kontrak

BAB III

KESIMPULAN
Kontrak dalam hal ini fungsinya sama dengan UU tapi hanya berlaku bagi pihak yang membuatnya. Yang ingkar/melanggar digugat dengan gugatan wanprestasi (ingkar janji). Seperti kita ketahui bahwa banyak peraturan perundang-undangan kita yang masih berasal dari masa pemerintahan Hindia Belanda.
Momentum terjadinya kontrak pada umumnya adalah ketika telah tercapai kata sepakat yang ditandai dengan penandatanganan kontrak sebagai bentuk kesepakatan oleh para pihak. Fungsi kontrak adalah demi memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Agar mereka tenang dan mengetahui dengan jelas akan hak dan kewajiban mereka.
Pada dasarnya asas kebebasan berkontrak mengutamakan kebebasan dan kesederajatan tiap manusia. Akan tetapi, pada penerapannya sehari-hari dalam pembuatan kontrak baku sangat minim menerapkan asas kebebasan berkontrak. Padahal asas kebebasan berkontrak mengandung makna bahwa masyarakat mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian sesuai dengan kepentingan masing-masing. Kebebasan tersebut meliputi:
  1. kebebasan para pihak untuk memutuskan apakah akan membuat perjanjian atau tidak.
  2. kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuatsuatu perjanjian.
  3. kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian.
  4. kebebasan untuk menentukan isi perjanjian.
  5. kebebasan untuk menentukan cara pembuatan perjanjian.
Sementara itu kebebasan-kebebasan yang masih dapat diwujudkan dalam implementasi Asas Kebebasan Berkontrak ini adalah:
  1. kebebasan untuk memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian atau tidak.
  2. kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuat suatu perjanjian.










                                                            DAFTAR PUSTAKA
Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1976.
Bismar Nasution, “Pengaruh Globalisasi pada Hukum Indonesia” Majalah Hukum Fakultas Hukum USU, Volume 8 No. 1, Medan, 2003.
Ramlan Ginting. 2000. Letter of Credit : Tinjauan Aspek hukum dan Bisnis. Jakarta :
Salemba Empat
Ade Maman Suherman. 2004. Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global. Bogor : Ghalia
Indonesia.