MAKALAH
HUKUM DAGANG
KONTRAK
DIBIDANG PERDAGANGAN
DISUSUN OLEH:
Kelompok II
Abdurrahman Hariadi
Lalu Sapoan Ali
Lailatul Ulfa Faradina
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MATARAM
KATA PENGANTAR
Puji
Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat taufik hidayah
dan inayahnya kami dapat menyelesaikan tugas penyusunan makalah ini tepat pada
waktunya, serta Shalawat salam semoga senantiasa terlimpahkan atas Nabi besar
Muhammad SAW, para sahabat dan keluarganya serta para pengikutnya yang setia
hingga akhir zaman.
Al-hamdulilah,
akhiranya apa yang telah direncanakan untuk menyelesaikan makalah ini bisa
terlaksana. Makalah ini disusun dalam rangka pemenuhan tugas akademik mata
kuliah “Hukum Dagang”.
Dalam
penyusunan tugas ini tentu jauh dari sempurna, oleh karena itu segala kritik
dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan tugas ini dan
untuk pelajaran bagi kita semua dalam pembuatan tugas-tugas yang lain di masa
mendatang. Semoga dengan adanya tugas ini kita dapat belajar bersama demi
kemajuan kita dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Kami
memohon maaf yang sebesar-besarnya bila di dalam penyusunan ini bayak terdapat
kekeliruan dan kekhilafan. Kebenaran dan kesempurnaan hanyalah milik Allah,
semoga Allah mengampuni dosa kita semua. Amiin...
Tim Penyusun
DAFTAR
ISI
MAKALAH
HUKUM DAGANG
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
...................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah
.............................................................................................................3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PEMBAHASAN
2.1 pembaruan hukum kontrak di Indonesia dalam perdagangan dan transaksi bisnis
internasional ..9
2.2 Hukum yang mengatur kontrak dagang di Indonesia dan Internasional .....................................11
2.3 Asas – asas dalam kontrak dagang
...............................................................................................19
2.4 Penyusunan kontrak dagang
..........................................................................................................20
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam
melakukan suatu kegiatan perusahaan memang sangat menyentuh berbagai macam pola
kehidupan yang ada dalam masyarakat seperti halnya masalah-masalah kelangsungan
dari pada perusahaan itu sendiri.Perubahan masyarakat dewasa ini yang sering
lebih mengarah terhadap perkembangan dari pada teknologi modernisasi.Seperti
yang kita ketahui , Pada zaman globalisasi saat ini tengah melanda dunia ,terutama
Indonesia. Salah satu dampak yang dirasakan terutama dalam sektor hukum ekonomi
, yaitu dalam hukum kotrak khususnya kontrak dagang.
Menyebabkan
berkembangnya jenis kontrak , meliputi kontrak dagang nasional atau domestic
yaitu suatu kontrak yang dilaksanakan antara 2 pihak baik perusahaan atau
perorangan , disuatu negara dengan perusahaan atau perorangan di negara lain .
Kontrak
Dagang merupakan bidang hukum yang sangat penting di era ini terutama dalam
mendukung kegiatan di sektor perdagangan dan transaksi bisnis internasional.
Menyatukan hubungan antara para pihak dalam lingkup internasional bukanlah
persoalan yang sederhana. Hal ini menyangkut perbedaan sistem, paradigma, dan
aturan hukum yang berlaku sebagai suatu aturan yang bersifat memaksa untuk
dipatuhi oleh para pihak di masing-masing perusahaan bahkan Negara.
Perdagangan
dewasa ini sangat pesat kemajuannya. Perkembangan tersebut tidak hanya pada apa
yang diperdagangkan tetapi juga pada tata cara dari perdagangan itu sendiri.
Pada awalnya perdagangan dilakukan secara barter antara dua belah pihak yang
langsung bertemu dan bertatap muka yang kemudian melakukan suatu kesepakatan
mengenai apa yang akan dipertukarkan tanpa ada suatu perjanjian. Setelah
ditemukannya alat pembayaran maka lambat laun berter berubah menjadi kegiatan
jual beli sehingga menimbulkan perkembangan tata cara perdagangan. Tata cara
perdagangan kemudian berkembang dengan adanya suatu perjanjian diantara
kedua
belah pihak yang sepakat mengadakan suatu perjanjian perdagangan yang di dalam
perjanjian tersebut mengatur mengenai apa hak dan kewajiban diantara kedua
belah pihak.
Bagi
suatu perusahaan penentuan kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah, apakah
pengukuran dan pengakuan pendapatan harus sesuai dengan prinsip akuntansi yang
diterima umum. Hal ini penting dan harus dilaksanakan. Pengakuan perlu
dilakukan pada saat yang tepat atas suatu kejadian ekonomi yang menghasilkan
pendapatan. Jumlah pendapatan yang diakui juga harus diukur secara tepat dan
pasti. Permasalahan ini akan selalu muncul bila terjadi sebuah transaksi yang
berhubungan dengan pendapatan dalam suatu perdagangan
Transaksi-transaksi
atau hubungan dagang banyak bentuknya, dari yang berupa hubungan jual beli
barang, pengiriman dan penerimaan barang, produksi barang dan jasa berdasarkan
suatu kontrak dan lain-lain. Semua transaksi tersebut sarat dengan potensi
untuk melahirkan suatu sengketa. Umumnya sengketa-sengketa dagang kerap
didahului dengan penyelesaian sengketa dengan cara negosiasi. Jika cara penyelesaian
negosiasi gagal atau tidak berhasil, barulah ditempuh cara-cara lainnya seperti
penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau arbitrase. Penyerahan sengketa,
baik kepada pengadilan maupun ke arbitrase, kerap kali didasarkan pada suatu
perjanjian di antara para pihak. Langkah yang biasa ditempuh adalah dengan
membuat suatu perjanjian atau memasukkan suatu klausul penyelesaian sengketa ke
dalam kontrak atau perjanjian yang mereka buat, baik ke pengadilan atau ke
badan arbitrase. Dasar hukum bagi forum atau badan penyelesaian sengketa yang
akan menangani sengketa adalah kesepakatan para pihak. Kesepakatan tersebut
diletakkan baik pada waktu kontrak ditandatangani atau setelah sengketa
timbul..
Kontrak
dapat diartikan dengan perjanjian, hal mendasar perbedaan pengertian kontrak
dan perjanjian, yaitu kontrak merupakan suatu perjanjian yang dibuat secara
tertulis,akan tetapi pada dasrnya kontrak adalah dokumen tertulis yang memuat
keinginan – keinginan para pihak untuk mencapai tujuan komersilnya serta bagaimana
pihak yang diuntungkan dilindungi ,atau dibatasi dalam tanggung jawabnya dalam
mencapai tujuan tersebut, sedangkan perjanjian merupakan semua bentuk hubungan
antara dua pihak dimana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk
melakukan sesuatu hal. Perjanjian tidak membedakan apakah perjanjian tersebut
dibuat tertulis maupun tidak, sehingga kontrak dapat diartikan sebagai
perjanjian secara sempit, yaitu hanya yang berbentuk tertulis. Hal ini
memberikan arti bahwa kontrak dapat disamakan dengan perjanjian. Perjanjian
terjadi antara kedua belah pihak yang saling berjanji, kemudian timbul
kesepakatan yang mengakibatkan adanya suatu perikatan diantara kedua belah
pihak tersebut. Perikatan terdapat di dalam perjanjian karena perikatan dapat
ditimbulkan oleh perjanjian disamping oleh undang-undang. Hal tersebut daitur
dan disebutkan dalam Pasal 1233 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata yang
berbunyi: ”Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan baik karena
undang-undang”. Pengertian perikatan tidak terdapat dalam Buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, akan tetapi menurut ilmu pengetahuan hukum,
perikatan dapat diartikan sebagai hubungan yang terjadi diantara dua orang atau
lebih,yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan dimana pihak yang satu
berhak atas prestasi dan pihak yang lainnya wajib memenuhi prestasi itu.
Argumentasi
kritis mengenai penggunaan istilah kontrak atau perjanjian disumbangkan oleh
Peter Mahmud Marzuki dengan melakukan perbandingan terhadap pengertian kontrak atau
perjanjian dalam sistem Anglo-American. Sistematika Buku III tentng
Verbintenissenrecht (hukum Perikatan) mengatur mengenai overeenkomst yang kalau
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti perjanjian. Istilah kontrak
merupakan terjemahan dari Bahasa Inggeris Contract. Didalam konsep kontinental,
penempatan pengaturan perjanjian pada Buku III BW Indonesia tentang Hukum
Perikatan mengindikasikan bahwa perjanjian memang berkaitan dengan masalah
Harta Kekayaan (Vermogen). Pengertian perjanjian ini mirip dengan contract pada
konsep Anglo-American yang selalu berkaitan dengan bisnis. Di dalam pola pikir
Anglo-American, perjanjian yang bahasa Belanda-nya overeenkomst, dalam Bahasa
Inggris disebut agreement yang mempunyai pengertian lebih luas dari contract,
karena mencakup hal-hal yang berkaitan dengan bisnis atau bukan bisnis. Untuk
agreement yang berkaitan dengan bisnis disebut kontrak, sedangkan untuk yang
tidak terkait dengan bisnis hanya disebut agreement.
Perikatan
terdapat di dalam perjanjian karena perikatan dapat ditimbulkan oleh perjanjian
disamping oleh undang-undang. Hal tersebut daitur dan disebutkan dalam Pasal
1233 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata yang berbunyi: ”Tiap-tiap perikatan
dilahirkan baik karena persetujuan baik karena undang-undang”. Pengertian
perikatan tidak terdapat dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akan
tetapi menurut ilmu pengetahuan hukum, perikatan dapat diartikan sebagai
hubungan yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam
lapangan harta kekayaan dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak
yang lainnya wajib memenuhi prestasi itu Sebagai realisasi dari perikatan yang
terdapat di dalam perjanjian, maka diatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi
masing-masing pihak.
Dan
bagaimanakah bila kontrak dagang dilakukan oleh pengusaha – pengusaha dari
berbagai negara . Itu bisa kita ketahui dari hukum nasional di masing-masing
negara yang berkaitan dengan hukum kontrak pada kenyataanya sangat beragam
karena adanya perbedaan sistem hukum di masing-masing negara tersebut. Kalaupun
ada persamaan, hanya terkait dengan prinsip-prinsip umum yang belum dapat
diaplikasikan secara nyata sebagai pedoman dalam pembentukan kontrak
internasional yang lingkup objeknya begitu luas, sedangkan aturan-aturan yang
sifatnya substantif berbeda di masing-masing negara. Kondisi seperti ini
tentunya tidak kondusif bagi aktivitas dunia bisnis internasional. Adanya
perbedaan aturan di masing-masing negara akan menghambat pelaksanaan transaksi
bisnis internasional yang menghendaki kecepatan dan kepastian .
1.2 Rumusan Masalah
1.
jelaskan pembaruan hukum kontrak/perjanjian di Indonesia dalam rangka
mendukung dan meningkatkan pelaksanaan perdagangan dan
transaksi bisnis internasional?
2.
Bagaimana hukum yang mengatur kontrak dagang di Indonesia dan Internasional ?
3.
Apakah asas – asas yang terdapat dalam kontrak dagang ?
4.
Terangkan mengenai penyusunan kontrak dagang yang benar ?
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.
1 pembaruan hukum kontrak di Indonesia dalam perdagangan dan transaksi bisnis
internasional
2.
1 . 2 Hukum kontrak perdagangan dan transaksi bisnis internasional
kontrak
internasional sebagai kontrak nasional yang terdapat unsur luar negeri (Secara
teoritis, unsur asing dalam suatu kontrak nasional yaitu:
1.
kebangsaan yang berbeda;
2.
para pihak memiliki domisili hukum di negara yang berbeda;
3.
hukum yang dipilih adalah hukum asing, termasuk aturan atau prinsip kontrak
kontrak internasional terhadap kontrak tersebut;
4.
pelaksanaan kontrak di luar negeri;
5.
penyelesaian sengketa kontrak dilakukan di luar negeri;
6.
kontrak tersebut ditandatangani di luar negeri;
7.
objek kontrak di luar negeri;
8.
bahasa yang digunakan dalam kontrak adalah bahasa asing; dan
9.
digunakannya mata uang asing dalam kontrak tersebut
(Sudargo
Gautama , 1976 : 7 )
2.
1. 3 Pembaharuan kontrak dalam Indonesia
Dan
pada hukum nasional di masing-masing negara terutama indonesia yang berkaitan
dengan hukum kontrak pada kenyataanya sangat beragam karena adanya perbedaan
sistem hukum di masing-masing negara tersebut. Kalaupun ada persamaan, hanya
terkait dengan prinsip-prinsip umum yang belum dapat diaplikasikan secara nyata
sebagai pedoman dalam pembentukan kontrak internasional yang lingkup objeknya
begitu luas, sedangkan aturan-aturan yang sifatnya substantif berbeda di
masing-masing negara. Kondisi seperti ini tentunya tidak kondusif bagi
aktivitas dunia bisnis internasional. Adanya perbedaan aturan di masing-masing
negara akan menghambat pelaksanaan transaksi bisnis internasional yang
menghendaki kecepatan dan kepastian. (Sudargo Gautama 1976 : 29 ).
Dengan
mengacu pada pendekatan hukum dalam pembangunan ekonomi, maka hukum harus
mengandung unsur-unsur sebagai berikut: Pertama, hukum harus dapat membuat
prediksi yaitu apakah hukum itu dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum
bagi pelaku dalam memprediksi kegiatan apa yang dilakukan untuk proyeksi
pengembangan ekonomi. Kedua, hukum itu mempunyai kemampuan prosedural dalam penyelesaian
sengketa. Misalnya dalam mengatur peradilan tribunal, penyelesaian sengketa
diluar pengadilan, dan penunjukan arbitrer, dan lembaga-lembaga yang berfungsi
sama dalam penyelesaian sengketa. Ketiga, pembuatan, pengkodifikasian hukum
oleh pembuat hukum bertujuan untuk pembangunan negara. Keempat, hukum itu
setelah mempunyai keabsahan, agar mempunyai kemampuan maka harus dibuat
pendidikannya dan selanjutnya disosialisasikan. Kelima, hukum itu dapat
berperan menciptakan keseimbangan karena hal ini berkaitan dengan inisiatif
pembangunan ekonomi. Keenam, hukum itu berperan dalam menentukan definisi dan
status yang jelas. Dalam hal ini hukum tersebut harus memberikan definisi dan
status yang jelas mengenai segala sesuatu dari orang. Ketujuh, hukum itu harus dapat
mengakomodasi keseimbangan, definisi dan status yang jelas bagi kepentingan
inividu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Terakhir, tidak kalah
pentingnya dan harus ada dalam pendekatan hukum sebagai dasar pembangunan
adalah unsur stabilitas. ( Bismar Nasution
, 2003 )
2.
2 Hukum yang mengatur kontrak dagang di Indonesia dan Internasional
2.
2 .1 Hukum kontrak dagang Nasional
Kewenangan
mengatur ini mencakup membuat hukum (nasional) baik yang sifatnya hukum publik
maupun hukum perdata (privat). Kewenangan atas peristiwa hukum di sini dapat
berupa transaksi jual beli dagang internasional atau transaksi dagang
internasional. Dalam hal ini, hukum nasional yang dibuat suatu Negara dapat
mencakup hukum perpajakan, kepabeanan, ketenagakerjaan, persaingan sehat,
perlindungan konsumen, kesehatan, perlindungan HKI hingga perijinan ekspor
impor suatu produk. ( Ramlan Ginting , 2000 : 48 )
Kewenangan
atas subjek hukum (pelaku atau stakeholders) dalam perdagangan intenasional,
mencakup kewenangan Negara dalam membuat dan meletakkan syarat-syarat (dan
izin) berdirinya suatu perusahaan, bentuk-bentuk perusahaan beserta
syarat-syaratnya, hingga pengaturan berakhirnya perusahaan (dalam hal
perusahaan pailit dan sebagainya). Kewenangan Negara untuk mengatur atas suatu
benda yang berada di dalam wilayahnya mencakup pengaturan objek-objek apa saja
yang dapat atau tidak dapat untuk diperjualbelikan, termasuk didalamnya adalah
larangan untuk masuknya produk-produk yang dianggap membahayakan moral,
kesehatan manusia, tanaman, lingkungan, produk tiruan dan lain-lain.
Sumber
hukum perdagangan internasional yang sebenarnya merupakan sumber utama dan
terpenting adalah perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh para pedagang
sendiri. Para pelaku perdagangan (pedagang) atau stakeholders dalam hukum
perdagangan internasional ketika melakukan transaksi-transaksi perdagangan
internasional, mereka menuangkannya dalam perjanjian-perjanjian tertulis
(kontrak). Oleh karena itu, kontrak sangat essensial. Dengan demikian, kontrak
berperan sebagai sumber hukum yang perlu dan terlebih dahulu mereka jadikan
acuan penting dalam melaksanakan hak dan kewajiban mereka dalam perdagangan
internasional. Dalam kontrak kita mengenal penghormatan dan pengakuan terhadap
prinsip konsensus dan kebebasan para pihak syarat-syarat perdagangan dan hak
serta kewajiban para pihak seluruhnya diserahkan kepada para pihak dan hukum
menghormati kesepakatan ini yang tertuang dalam perjanjian. Meskipun kebebasan
para pihak sangatlah essensial, namun kebebasan tersebut ada batas-batasanya,
yaitu ;
(1)
pembatasan yang umum adalah kebebasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, dan dalam taraf tertentu, dengan ketertiban umum, kesusilaan dan
kesopanan,
(2)
status dari kontrak itu sendiri. Kontrak dalam perdagangan internasional tidak
lain adalah kontrak nasional yang ada unsure asingnya, artinya kontrak tersebut
meskipun di bidang perdagangan internasional paling tidak tunduk dan dibatasi
oleh hukum nasional (suatu Negara tertentu),
(3)
pembatasan lain yang juga penting dan mengikat para pihak adalah
kesepakatan-kesepakatan atau kebiasaan-kebiasaan dagang yang sebelumnya
dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan. ( Ade Maman , 2004 : 183 )
2.
3 Asas – asas dalam kontrak dagang
2.
3. 2 Asas – asas dalam kontrak dagang
Dalam
menyusun suatu kontrak atau perjanjian baik itu bersifat bilateral dan
multilateral maupun dalam lingkup nasional, regional dan internasional harus
didasari pada prinsip hukum dan klausul tertentu. Dalam hukum perdata dikenal
beberapa prinsip dasar yang harus diterapkan dalam penyusunan kontrak sehingga
akan terhindar dari unsur-unsur yang dapat merugikan para pihak pembuat suatu
kontrak yang mereka sepakati. Prinsip dan klausul dalam kontrak dimaksud adalah
sebagai berikut:
Asas
Kebebasan Berkontrak. Berdasarkan prinsip ini, para pihak berhak menentukan apa
saja yang ingin mereka sepakati, sekaligus untuk menentukan apa yang tidak
ingin dicantumkan di dalam isi perjanjian, tetapi bukan berarti tanpa batas.
Dalam KUHPerdata, asas kebebasan berkontrak ini diatur dalam Pasal 1338
KUHPerdata yang dirumuskan sebagai: (a) Semua persetujuan yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya; (b) Persetujuan
itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau
karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu; (c)
Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
Asas
Konsensualitas. Suatu perjanjian timbul apabila telah ada konsensus atau
persesuaian kehendak antara para pihak. Dengan kata lain, sebelum tercapainya
kata sepakat, perjanjian tidak mengikat. Konsensus tersebut tidak perlu ditaati
apabila salah satu pihak menggunakan paksaan, penipuan ataupun terdapat
kekeliruan akan objek kontrak.
Asas
Kebiasaan. Suatu perjanjian tidak mengikat hanya untuk hal-hal yang diatur
secara tegas saja dalam peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan
sebagainya, tetapi juga hal-hal yang menjadi kebiasaan yang diikuti masyarakat
umum. Jadi, sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan.
Dengan kata lain, hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan
dianggap secara diam-diam dimasukan dalam persetujuan meskipun tidak dengan
tegas dinyatakan. (Pasal 1339 BW).
Asas
Peralihan Resiko. Dalam sistem hukum Indonesia, beralihnya suatu resiko atas
kerugian yang timbul merupakan suatu prinsip yang berlaku untuk jenis-jenis
perjanjian tertentu seperti pada persetujuan jual beli, tukar menukar, pinjam
pakai, sewa menyewa, pemborongan pekerjaan, dan lain sebagainya, walaupun tidak
perlu dicantumkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Meskipun demikian, para
pihak boleh mengaturnya sendiri mengenai peralihan resiko itu, sepanjang tidak
bertentangan dengan undang undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Asas
Ganti kerugian. Penentuan ganti kerugian merupakan tugas para pembuat
perjanjian untuk memberikan maknanya serta batasan ganti kerugian tersebut
karena prinsip ganti rugi dalam sistem hukum Indonesia mungkin berbeda dengan
prinsip ganti kerugian menurut sistem hukum asing. Dalam KUHPerdata Indonesia,
prinsip ganti kerugian ini diatur dalam pasal 1365, yang menentukan; “Setiap
perbuatan melanggar hukum yang menmbawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan
orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian tersebut.” Dengan demikian,
untuk setiap perbuatan yang melawan hukum karena kesalahan mengakibatkan orang
lain dirugikan, maka ia harus mengganti kerugian yang diderita orang lain,
tetapi harus dibuktikan adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan
hukum dengan kerugian dimaksud sebab tidak akan ada kerugian jika tidak
terdapat hubungan antara perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh si pelaku
dengan timbulnya kerugian tersebut.
Asas
Kepatutan (Equity Principle). Prinsip kepatutan ini menghendaki bahwa apa saja
yang akan dituangkan di dalam naskah suatu perjanjian harus memperhatikan
prinsip kepatutan (kelayakan/ seimbang),
sebab melalui tolak ukur kelayakan ini hubungan hukum yang ditimbulkan oleh
suatu persetujuan itu ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat
(KUH-Perdata: pasal 1339). Dengan begitu, setiap persetujuan tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dimuat dalam naskah perjanjian, tetapi
juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh
“kepatutan”, kebiasaan atau undang undang.
Asas
Ketepatan Waktu. Setiap kontrak, apapun bentuknya harus memiliki batas waktu
berakhirnya, yang sekaligus merupakan unsur kepastian pelaksanaan suatu
prestasi (obyek kontrak). Prinsip ini sangatlah penting dalam kontrak-kontrak
tertentu, misalnya kontrak-kontrak yang berhubungan dengan proyek konstruksi
dan proyek keuangan, di mana setiap kegiatan yang telah disepakati harus
diselesaikan tepat waktu. Prinsip ini penting untuk menetapkan batas waktu
berakhirnya suatu kontrak. Dalam setiap naskah kontrak harus dimuat secara
tegas batas waktu pelaksanaan kontrak. Jika prestasi tidak dilaksanakan sesuai
dengan batas waktu yang telah disepakati, salah satu pihak telah wanprestasi
atau telah melakukan cidera janji yang menjadikan pihak lainnya berhak untuk
menuntut pemenuhan prestasi ataupun ganti kerugian.
Asas
Keadaan darurat (Force Majeure). Force majeure principle ini merupakan salah
satu prinsip yang sangat penting dicantumkan dalam setiap naskah kontrak, baik
yang berskala nasional, regional, maupun kontrak internasional. Hal ini penting
untuk mengantisipasi situasi dan kondisi yang melingkupi objek kontrak. Jika
tidak dimuat dalam naskah suatu kontrak, maka bila terjadi hal-hal yang berada
di luar kemampuan manusia, misalnya gempa bumi, banjir, angin topan, gunung
meletus, dan lain sebagainya, siapa yang bertanggung jawab atas semua kerugian
yang ditimbulkan oleh bencana alam tersebut. ( Sudargo Gautama , 1985 )
2.
4 Penyusunan kontrak dagang
2.
4 . 2 )
a) Pemahaman akan latar belakang
transaksi
b)
Pengenalan dan pemahaman akan para pihak
c)
Pengenalan dan pemahaman akan objek transaksi
d)
Penyusunan garis besar transaksi
e)
Perumusan pokok-pokok kontrak
PEMBAHASAN
2.
1 pembaruan hukum kontrak di Indonesia dalam perdagangan dan transaksi bisnis
internasional
Kontrak
internasional memiliki posisi yang sangat penting sebagai rujukan yang paling
utama bagi para pihak dalam pelaksanaan suatu hal yang diperjanjikan, bahkan
sampai pada penentuan bagaimana cara penyelesaian yang akan ditempuh jika
dikemudian hari pelaksanaan kontrak tidak dapat direalisasikan sebagaimana
mestinya.
kontrak
internasional sebagai kontrak nasional yang terdapat unsur luar negeri (Secara
teoritis, unsur asing dalam suatu kontrak nasional yaitu:
1.
kebangsaan yang berbeda;
2.
para pihak memiliki domisili hukum di negara yang berbeda;
3.
hukum yang dipilih adalah hukum asing, termasuk aturan atau prinsip kontrak
kontrak internasional terhadap kontrak tersebut;
4.
pelaksanaan kontrak di luar negeri;
5.
penyelesaian sengketa kontrak dilakukan di luar negeri;
6.
kontrak tersebut ditandatangani di luar negeri;
7.
objek kontrak di luar negeri;
8.
bahasa yang digunakan dalam kontrak adalah bahasa asing; dan
9.
digunakannya mata uang asing dalam kontrak tersebut
Dan
pada hukum nasional di masing-masing negara terutama indonesia yang berkaitan
dengan hukum kontrak pada kenyataanya sangat beragam karena adanya perbedaan
sistem hukum di masing-masing negara tersebut. Kalaupun ada persamaan, hanya
terkait dengan prinsip-prinsip umum yang belum dapat diaplikasikan secara nyata
sebagai pedoman dalam pembentukan kontrak internasional yang lingkup objeknya
begitu luas, sedangkan aturan-aturan yang sifatnya substantif berbeda di
masing-masing negara. Kondisi seperti ini tentunya tidak kondusif bagi aktivitas
dunia bisnis internasional. Adanya perbedaan aturan di masing-masing negara
akan menghambat pelaksanaan transaksi bisnis internasional yang menghendaki
kecepatan dan kepastian.
Apalagi
Indonesia masih miskin yurisprudensi untuk dijadikan suatu pedoman . Permasalahan ini menjadi lebih runyam lagi
apabila ternyata hukum yang berlaku di suatu negara adalah produk hukum yang
sudah lama atau belum mengakomodir
perkembangan yang ada. Kondisi demikian terjadi di Indonesia yang mana aturan
umum mengenai kontrak/perjanjian masih berpedoman pada produk hukum kolonial
yang sudah lama. Dalam kaitannya dengan hukum kontrak internasional, ketentuan
KUHPerd khususnya Buku Ketiga tentang Perikatan dan lebih khusus lagi diatur
dalam Bab II tentang Perikatan yang Lahir dari Perjanjian belum sepenuhnya
mengakomodir prinsip-prinsip kontrak internasional sehingga masih menyisakan
permasalahan berkaitan dengan kontrak dalam kegiatan perdagangan dan transaksi
bisnis internasional. Pengaturan kontrak/perjanjian dalam KUHPerd semakin
terpinggirkan seiring dengan semakin kompleks dan rumitnya kontrak yang
dibentuk terutama yang bersifat lintas negara. Ketentuan hukum perikatan dalam
KUHPerd sebagian sudah lama seiring dengan arus globalisasi yang semakin deras
yang lebih mengedepankan aturan yang dikenal dengan convention law, community
law, dan model law.
KUHPerd
sendiri sebenarnya memang diakui bukan produk hukum yang ideal untuk
diberlakukan seterusnya dan sesegera mungkin perlu dibuat undang-undang baru
yang mengatur masalah keperdataan secara lebih komprehensif, sistematis, dan
aplikatif. Status KUHPerd sebagai Undang-Undang pun menjadi perdebatan di
kalangan para ahli yang terbagi menjadi kelompok pro dan kontra. Bagi yang pro,
KUHPerd adalah Undang-Undang karena pencabutan bagian-bagian dari KUHPerd
dituangkan dalam bentuk Undang-Undang.Misalnya, ketentuan mengenai
ketenagakerjaan dicabut melalui Undang-Undang Ketenagakerjaan dan ketentuan
mengenai perkawinan dicabut melalui Undang-Undang Perkawinan. Bagi yang berpendapat
sebaliknya, KUHPerd tak perlu lagi dianggap sebagai Undang-Undang. Dengan
demikian, harus dilaksanakan pembaruan hukum kontrak untuk menggantikan BW yang
sudah sangat tertinggal sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada tingkat
perkembangan mutakhir, sesuatu yang biasa disebut sebagai modernisasi hukum.
Dalam pembaruan hukum ini perlu dibuat
pendekatan dengan pengkajian hukum yang bertujuan mencapai jaminan dan
kepastian hukum bagi kegiatan investasi dan perdagangan secara global. Pembaruan hukum kontrak sebenarnya sudah
dilakukan melalui pendekatan parsial, dalam arti pembaruan hukum diprioritaskan
pada bidang hukum yang sifatnya khusus mengatur sektor tertentu, misalnya
adanya Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
tidak sehat, Undang-Undang tentang Penanaman Modal, Undang-Undang tentang
Perseroan Terbatas, Undang - Undang tentang Perlindungan Konsumen, dan
peraturan perundang-undangan sektoral lainnya yang dalam materi muatannya
diatur juga mengenai kontrak/perjanjian, misalnya Peraturan Pemerintah tentang
Waralaba. Pembaruan hukum kontrak secara sektoral memang memberikan kepastian
hukum dalam sektor terkait. Namun tetap diperlukan aturan umum yang menentukan
prinsip-prinsip perjanjian baik dari aspek formil maupun materiil agar terjadi
keseragaman serta untuk mengakomodir kepentingan kontrak/perjanjian yang
bersifat lintas sektoral. Dengan demikian, pembaruan hukum kontrak perlu
dilakukan secara holistik, terpadu, terencana, dan sistematis, yaitu dengan
melakukan revisi atau perubahan terhadap undang-undang yang mengatur secara
umum (lex generalis) dalam hal ini adalah KUHPerd khususnya Buku Ketiga tentang
Perikatan.
Dengan
mengacu pada pendekatan hukum dalam pembangunan ekonomi, maka hukum harus
mengandung unsur-unsur sebagai berikut: Pertama, hukum harus dapat membuat
prediksi yaitu apakah hukum itu dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum
bagi pelaku dalam memprediksi kegiatan apa yang dilakukan untuk proyeksi
pengembangan ekonomi. Kedua, hukum itu mempunyai kemampuan prosedural dalam
penyelesaian sengketa. Misalnya dalam mengatur peradilan tribunal, penyelesaian
sengketa diluar pengadilan, dan penunjukan arbitrer, dan lembaga-lembaga yang
berfungsi sama dalam penyelesaian sengketa. Ketiga, pembuatan, pengkodifikasian
hukum oleh pembuat hukum bertujuan untuk pembangunan negara. Keempat, hukum itu
setelah mempunyai keabsahan, agar mempunyai kemampuan maka harus dibuat
pendidikannya dan selanjutnya disosialisasikan. Kelima, hukum itu dapat
berperan menciptakan keseimbangan karena hal ini berkaitan dengan inisiatif
pembangunan ekonomi. Keenam, hukum itu berperan dalam menentukan definisi dan
status yang jelas. Dalam hal ini hukum tersebut harus memberikan definisi dan
status yang jelas mengenai segala sesuatu dari orang. Ketujuh, hukum itu harus
dapat mengakomodasi keseimbangan, definisi dan status yang jelas bagi
kepentingan inividu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Terakhir, tidak
kalah pentingnya dan harus ada dalam pendekatan hukum sebagai dasar pembangunan
adalah unsur stabilitas.
2.
2 Hukum yang mengatur kontrak dagang di Indonesia dan Internasional
Peran hukum nasional sebagai sumber
hukum perdagangan internasional mulai lahir ketika timbul sengketa sebagai
pelaksanaan dari kontrak. Peran hukum nasional sebenarnya sangatlah luas dari
sekedar mengatur kontrak dagang internasional. Peran signifikan dari hukum
nasional lahir dari adanya yurisdiksi (kewenangan) Negara. Kewenangan Negara
ini sifatnya mutlak dan eksklusif, artinya apabila tidak ada pengecualian lain,
kekuasaan itu tidak dapat diganggu gugat. Yurisdiksi atau kewenangan tersebut
adalah kewenangan suatu Negara untuk mengatur segala, :
(a)
peristiwa hukum;
(b)
subjek hukum;
(c)
benda yang berada di dalam wilayahnya.
Kewenangan
mengatur ini mencakup membuat hukum (nasional) baik yang sifatnya hukum publik
maupun hukum perdata (privat). Kewenangan atas peristiwa hukum di sini dapat
berupa transaksi jual beli dagang internasional atau transaksi dagang
internasional. Dalam hal ini, hukum nasional yang dibuat suatu Negara dapat
mencakup hukum perpajakan, kepabeanan, ketenagakerjaan, persaingan sehat,
perlindungan konsumen, kesehatan, perlindungan HKI hingga perijinan ekspor
impor suatu produk.
Kewenangan
atas subjek hukum (pelaku atau stakeholders) dalam perdagangan intenasional,
mencakup kewenangan Negara dalam membuat dan meletakkan syarat-syarat (dan
izin) berdirinya suatu perusahaan, bentuk-bentuk perusahaan beserta
syarat-syaratnya, hingga pengaturan berakhirnya perusahaan (dalam hal
perusahaan pailit dan sebagainya). Kewenangan Negara untuk mengatur atas suatu
benda yang berada di dalam wilayahnya mencakup pengaturan objek-objek apa saja
yang dapat atau tidak dapat untuk diperjualbelikan, termasuk didalamnya adalah
larangan untuk masuknya produk-produk yang dianggap membahayakan moral,
kesehatan manusia, tanaman, lingkungan, produk tiruan dan lain-lain.
Sumber
hukum perdagangan internasional yang sebenarnya merupakan sumber utama dan
terpenting adalah perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh para pedagang
sendiri. Para pelaku perdagangan (pedagang) atau stakeholders dalam hukum
perdagangan internasional ketika melakukan transaksi-transaksi perdagangan
internasional, mereka menuangkannya dalam perjanjian-perjanjian tertulis
(kontrak). Oleh karena itu, kontrak sangat essensial. Dengan demikian, kontrak
berperan sebagai sumber hukum yang perlu dan terlebih dahulu mereka jadikan
acuan penting dalam melaksanakan hak dan kewajiban mereka dalam perdagangan
internasional. Dalam kontrak kita mengenal penghormatan dan pengakuan terhadap
prinsip konsensus dan kebebasan para pihak syarat-syarat perdagangan dan hak
serta kewajiban para pihak seluruhnya diserahkan kepada para pihak dan hukum
menghormati kesepakatan ini yang tertuang dalam perjanjian. Meskipun kebebasan
para pihak sangatlah essensial, namun kebebasan tersebut ada batas-batasanya,
yaitu ;
(1)
pembatasan yang umum adalah kebebasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, dan dalam taraf tertentu, dengan ketertiban umum, kesusilaan dan
kesopanan,
(2)
status dari kontrak itu
sendiri.
Kontrak dalam perdagangan internasional tidak lain adalah kontrak nasional yang
ada unsure asingnya, artinya kontrak tersebut meskipun di bidang perdagangan
internasional paling tidak tunduk dan dibatasi oleh hukum nasional (suatu
Negara tertentu),
(3)
menurut Sanson, pembatasan lain yang juga penting dan mengikat para pihak
adalah kesepakatan-kesepakatan atau kebiasaan-kebiasaan dagang yang sebelumnya
dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan.
Perjanjian
Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur
dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan
kewajiban di bidang hukum publik. (Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional).
Perlindungan
hukum terhadap hubungan antar orang atau antar perusahaan yang bersifat lintas
batas negara dapat dilakukan secara publik maupun privat. Perlindungan secara
publik dilakukan dengan cara memanfaatkan fasilitas perlindungan yang
disediakan oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat publik, seperti peraturan
perundang - undangan domestik dan perjanjian-perjanjian internasional,
bilateral maupun universal, yang dimaksudkan demikian. Perlindungan secara
privat dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan fasilitas perlindungan hukum
yang bersifat privat.
Dalam
dunia bisnis, jenis hukum privat merupakan pilihan yang paling populer. Jenis
ini digunakan secara luas oleh masyarakat bisnis yang terlibat dalam transaksi
lintas batas negara. Beberapa alasan yang mengakibatkan penggunaan seperti
adalah: pertama; berubahnya orientasi masyarakat dunia setelah Perang Dunia II
ke arah pembangunan ekonomi global. Kedua; pesatnya pertumbuhan kebijakan,
bentuk dan materi transaksi bisnis internasional. Ketiga; kurang lengkapnya
materi hukum publik (sistem perundang-undangan) berkaitan dengan variasi
bentuk,materi,transaksi.
Sebelum
menjalin kontrak dengan seseorang yang berkewarganegaraan lain, terlebih dahulu
harus memahami sistem hukum yang mempengaruhi kontrak di negara tersebut. Juga
harus memahami perbedaan sistem hukum di negara masing-masing. Pengetahuan ini
sama pentingnya dengan mengecek latar belakang calon mitra masing-masing,
karena dua alasan. Pertama, hukum di kedua negara akan menentukan aspek
tertentu dalam hubungan kontraktual. Kedua, hukum di salah satu negara mungkin
lebih menguntungkan dari pada di negara lain.
Setelah
mengetahui kesulitan yang dihadapi oleh pihak-pihak yang menjalin kontrak
lintas negara, masyarakat internasional mulai mengadopsi sitem hukum dan
peraturan yang bisa diterapkan dalam transaksi pihak-pihak yang berlokasi di
negara yang berbeda. Tujuan dari pengadopsian hukum internasional yang seragam
adalah untuk memastikan bahwa semua pihak yang melakukan transaksi lintas batas
negara menjadi subjek seperangkat peraturan yang sama, tidak peduli bahwa hukum
yang berlaku di negaranya masing-masing berbeda.
Secara
umum sangatlah tidak bijaksana mendasarkan persyaratan kontrak pada hukum, bahkan
hukum internasioanal sekalipun. Penerapan hukum internasional untuk menafsirkan
sebuah kontrak bisa mengarah pada hasil yang tidak diduga dan tidak diinginkan.
Misalnya,
dalam suatu kontrak jual beli internasional, penjual gagal memenuhi batas waktu
pengiriman yang ditetapkan. Kemudian pembeli menuntut penjual karena kegagalan
memenuhi batas waktu pengiriman satu bulan. Di negara pembeli, kontrak tersebut
mungkin dianggap tidak valid karena ada persyaratan penting yang tidak
dimasukkan. Tetapi jika di pengadilan menerapkan hukum internasional,
berdasarkan praktek yang biasa berjalan dalam industri tersebut mungkin akan
menetapkan dua bulan sebagai waktu penyerahan yang masuk akal.
Untuk
menghindari hasil yang tidak menyenangkan dan di duga, ketika melakukan kontrak
dengan pihak negara lain, harus didefinisikan dengan tepat hak dan kewajiban
dalam kontrak tertulis. Kontrak harus menyatakan secara jelas
persyaratan-persyaratannya sehingga kedua pihak akan memahami apa yang harus
dilakukan dan apa yang harus diterima.
Kontrak
yang dikonsep dengan baik akan sangat membantu memastikan bahwa pihak-pihak
yang memiliki latar belakang budaya berbeda mencapai pemahaman bersama dengan
mempertimbangkan hak dan kewajiban masing-masing. Semua pihak yang menjalin
kontrak hadir dengan ekspektasi masing-masing, yang pada gilirannya mewarnai
pemahaman mereka terhadap persyaratan-persyaratan yang dicantumkan dalam
kontrak. Sesuatu yang masuk akal bagi satu pihak, mungkin tidak bisa diterima
akal pihak lain, hal mana perlu di bicarakan bersama sehingga muncul pemahaman
yang sama.Hal ini merupakan elemen penting dalam pembuatan.
Kontrak
yang mencerminkan ekspektasi budaya masing-masing pihak kemungkinan besar bisa
dijalankan secara memuaskan bagi kedua pihak. Pemahaman bersama tidak sekedar
berarti bahwa masing-masing pihak memahami hak dan kewajibannya sebelum
membubuhkan tanda tangan, tetapi pihak-pihak tersebut harus memiliki
kesepakatan yang tuntas mengenai hak dan kewajiban.Persengketaan biasanya
muncul ketika salah satu pihak menafsirkan hak dan kewajiban dengan cara yang
berbeda dengan pihak lain.Ada kecenderungan hukum di banyak negara -dan sudah
pasti pada gilirannya hukum internasional di antara berbagai negara- untuk
mengakui kontrak sebagai basis transaksi bisnis, meskipun kontrak tersebut
tidak mencakup seluruh persyaratan yang esensial. Jika muncul persengketaan dan
ternyata persyaratan yang esensial tersebut ada yang tidak tercakup, atau tidak
jelas maksud dari masing-masing pihak, bisa didasarkan pada praktek perdagangan
atau keuangan yang sudah biasa dilakukan.
Pada
dasarnya, hakim, arbitrator, pembuat peraturan, dan pembuat hukum lebih
menyukai kesepakatan bisnis yang dibuat berdasarkan kebiasaan praktek bisnis.
Ada anggapan apabila individu atau konsumen berada dalam payung adat istiadat
berbisnis, mereka lebih terlindungi dari kesepakatan yang merugikan akibat
kontrak yang dibuatnya tidak mencantumkan seluruh persyaratan esensial. Tetapi
untuk amannya, setiap kali melakukan transaksi jangan mendasarkan pada kontrak
kebiasaan semata tetapi harus selalu menyatakan maksud dalam persyaratan yang
tertulis.
Secara
garis besar di dunia ini meskipun dikenal ada lima sistem hukum, yaitu; Civil
law, common law, socialis law, islamic law dan sistem hukum adat, tetapi sesungguhnya
yang dominan dipakai di dunia internasional hanyalah dua, yaitu sistem hukum
civil law dan common law.
Dalam
pembentukan kontrak, terdapat perbedaan antara common law dan civil law. Akibat
perbedaan ini sangat mempengaruhi dalam penyusunan ketentuan kontrak
internasional. Sehubungan dengan perbedaan dalam sistem hukum tersebut, maka
kemudian dalam rangka merancang suatu kontrak atau pembuatan suatu konsep
perjanjian pun dengan sendirinya mengacu pada sistem hukum yang dianut. Namun
zaman terus bergerak, dan tiba saatnya era globalisasi yang juga mau tidak mau
mempengaruhi sistem hukum yang diterapkan,apabila terjadi perjumpaan antara
sistem hukum yang berlainan.
Common
Law
Dalam
pembuatan kontrak di sistem common law, para pihak memiliki kebebasan untuk
menyepakati persyaratan yang diinginkan, sepanjang persyaratan tersebut tidak
melanggar kebijakan publik ataupun melakukan tindakan yang melanggar hukum.
Jika ada persyaratan tertentu yang tidak tercakup, hak dan kewajiban yang wajar
akan diterapkan diambil dari ketetapan hukum yang ada atau praktek bisnis yang
biasa dijalankan oleh para pihak atau industri. Peraturan ini memberi
kesempatan kepada satu pihak untuk menggugat kerugian sejumlah manfaat yang
bisa dibuktikan yang akan diperoleh pihak tersebut jika pihak lain tidak
melanggar kontrak. Di kebanyakan jurisdiksi, salah satu pihak diminta untuk
membayar ganti rugi akibat pelanggaran, yang dikenal sebagai konsekuensi
kerugian.Kontrak menurut sistem hukum common law, memiliki unsur sebagai
berikut:
A.
Bargain
Unsur
bargain dalam kontrak common law dapat memiliki sifat memaksa. Sejarah
menunjukkan bahwa pemikiran mengenai bargain,dalam hubungannya dengan konsep
penawaran (offer)dianggap sebagai ujung tombak dari sebuah perjanjian dan merupakan
sumber dari hak yang timbul dari suatu kontrak. Penawaran dalam konteks ini
tidak lebih adalah sebuah transaksi di mana para pihak setuju untuk melakukan
pertukaran barang-barang, tindakan-tindakan, atau janji-janji antara satu pihak
dengan pihak yang lain. Karena itu, maka ukuran dari pengadilan terhadap
perjanjian tersebut dilakukan berdasarkan penyatuan pemikiran dari para pihak,
ditambah dengan sumber dari kewajiban mereka, dan kemudian memandang ke arah
manifestasi eksternal dari pelaksanaan perjanjian tersebut. Pengertian
penawaran merupakan suatu kunci yang digunakan untuk lebih mengerti tentang
penerapan aturan-aturan common law mengenai kontrak.
B.
Agreement
Suatu
proses transaksi yang biasa disebut dengan istilah offer and acceptance, yang
ketika diterima oleh pihak lainnya akan memberikan akibat hukum dalam kontrak.
Dalam perjanjian sering ditemukan, di mana satu pihak tidak dapat menyusun
fakta-fakta ke dalam suatu offer yang dibuat oleh pihak lainnya yang telah
diterima sebagai acceptance oleh pihak tersebut. Karena penawaran dan
penerimaan adalah hal yang fundamental, maka dalam sistem common law, sangat
diragukan apakah suatu pertukaran offer (cross-offer) itu dapat dianggap
sebagai kontrak. Berdasarkan sistem common law, pada saat suatu kontrak dibuat,
saat itulah hak dan kewajiban para pihak muncul, hal yang demikian itu diatur
dalam statute. Karena bisa saja terjadi suatu kontrak yang dibuat berdasarkan
keinginan dari para pihak dan pada saat yang sama juga kontrak tersebut tidak
ada. Hal ini disebabkan karena aturan mengenai acceptance dan revocation ini
memiliki akibat-akibat yang berbeda pada setiap pihak.
C.
Consideration
Dasar
hukum yang terdapat dalam suatu kontrak adalah adanya unsur penawaran yang
kalau sudah diterima, menjadi bersifat memaksa, bukan karena adanya janji-janji
yang dibuat oleh para pihak. Aturan dalam sistem common law tidak akan
memaksakan berlakunya suatu janji demi kepentingan salah satu pihak kecuali ia
telah memberikan sesuatu yang mempunyai nilai hukum sebagai imbalan untuk
perbuatan janji tersebut. Hukum tidak membuat persyaratan dalam hal adanya
suatu kesamaan nilai yang adil. Prasyarat atas kemampuan memaksa ini dikenal
dengan istilah consideration . Consideration adalah isyarat, tanda dan
merupakan simbol dari suatu penawaran. Tidak ada definisi dan penjelasan yang
memuaskan dari sistem common law mengenai konsep ini. Hal demikian ini telah di
mengerti atas dasar pengalaman.
D.
Capacity
Kemampuan
termasuk sebagai syarat tentang apakah para pihak yang masuk dalam perjanjian
memiliki kekuasaan.Suatu kontrak yang dibuat tanpa adanya kekuasaan untuk
melakukan hal tersebutdianggap tidak berlaku.Sebagai illustrasi dapat diuraikan
putusan pengadilan dalam Quality Motors, Inc. V. Hays di mana memutuskan bahwa
kontrak tidak sah karena dilakukan oleh individu yang belum dewasa, walaupun
transaksi dilakukan oleh melalui orang lain yang telah dewasa, dan surat jual
belinya di sahkan oleh notaris. Dalam kasus ini terlihat bahwa pengadilan
menerapkan secara tegas dan kaku ketentuan umur untuk seseorang dapat melakukan
perbuatan hukum. Walaupun jual beli akhirnya dilakukan oleh orang dewasa, namun
fakta menunjukkan ternyata hal tersebut dilakukan dengan sengaja untuk
melanggar ketentuan kontrak, akhirnya pengadilan membatalkan ketentuan kontrak
tersebut.
Civil
Law
Kebanyakan
negara yang tidak menerapkan common law memiliki sistem civil law. Civil law
ditandai oleh kumpulan perundang-undangan yang menyeluruh dan sistematis, yang
dikenal sebagai hukum yang mengatur hampir semua aspek kehidupan.
Teori
mengatakan bahwa civil law berpusat pada undang-undang dan peraturan.
Undang-Undang menjadi pusat utama dari civil law, atau dianggap sebagai jantung
civil law . Namun dalam perkembangannya civil law juga telah menjadikan putusan
pengadilan sebagai sumber hukum.
Di
banyak hukum dalam sistem civil law tidak tersedia peraturan untuk menghitung
kerugian karena pelanggaran kontrak. Standar mengenai penghitungan kerugian ini
masih tetap belum jelas di banyak negara dengan civil law. Meskipun demikian
pengadilan di negara-negara ini cenderung memutuskan untuk menghukum pihak yang
salah tidak dengan uang, tetapi dengan
Keputusan
pengadilan .
Keputusan
pengadilan ini mengisyaratkan salah satu pihak untuk menjalankan tindakan
tertentu yang dimandatkan oleh pengadilan, seperti mengembalikan hak milik atau
mengembalikan pembayaran. Banyak sistem dari civil law memiliki mekanisme
penegakan dan pamantauan agar penegakan bisa dijalankan secara efektif.
Unsur
kontrak dalam civil law sistem terdiri dari empat unsur, sebagai berikut:
a.
Kapasitas Para Pihak
Kebebasan
kehendak sangat dipengaruhi oleh kapasitas atau kemampuan seseorang yang
terlibat dalam perjanjian. Kemampuan ini sangat menentukan untuk melakukan
perjanjian sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kapasitas yang dimaksudkan dalam civil law antara lain ditentukan individu
menurut umur seseorang. Di Indonesia, Philipina, dan Jepang yang dianggap telah
mempunyai kapasitas untuk melakukan suatu kontrak harus telah berumur 21 tahun.
Civil Code Perancis yang merefleksikan pemikiran modern, menyatakan bahwa
kehendak individu yang bebas adalah sumber dari sistem hukum, yang meliputi hak
dan kewajiban. Namun kebebasan kehendak ini harus sesuai dengan hukum tertulis,
yaitu hukum perdata.
Di
Indonesia, Jepang, Iran dan Philipina, di mana perusahaan sebagai subjek hukum
dapat melakukan kontrak melalui pengurus perusahaan. Di Indonesia pengurus
perusahaan terdiri dari anggota direksi dan komisaris. Dalam melakukan kegiatannya,
maka anggota direksi harus memenuhi ketentuan anggaran dasar perusahaan dan
peraturan perundang-undangan, yang memberikan kepadanya kapasitas dalam
melakukan penandatanganan kontrak dan tindakan hukum lainnya. Hal inilah yang
dikatakan dalam civil law merupakan the code granted them full capacity.
b.
Kebebasan Kehendak Dasar Dari Kesepakatan
Kebebasan
kehendak yang menjadi dasar suatu kesepakatan, agar dianggap berlaku efektif
harus tidak dipengaruhi oleh paksaan (dures), kesalahan (mistake), dan
penipuan(fraud). Berkenaan dengan kebebasan kehendak, pengadilan di Perancis
menerapkan ketentuan civil Code sangat kaku, yaitu tidak boleh merugikan pihak
lain. Dalam kenyataan sehari-hari, walaupun yang dianggap mampu melaksanakan
kebebasan kehendak ada pada orang yang sudah dewasa, namun diantara mereka
tidak boleh membuat kebebasan kehendak, yang dapat merugikan pihak lain.
Kesepakatan
di antara para pihak menjadi dasar terjadinya perjanjian. Pasal 1320 ayat (1)
KUHPerdata menetukan bahwa perjanjian atau kontrak tidak sah apabila dibuat
tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan
tersebut memberikan petunjuk bahwa hukum perjanjian dikuasai oleh “asas
konsensualismeâ€. Ketentuan Pasal 1320 ayat (1)
tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi
perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya.
c.
Subjek yang pasti
Merujuk
pada kesepakatan, terdapat dua syarat di hadapan juristic act, suatu perjanjian
dapat diubah menjadi efektif yaitu harus dengan ada antara lain suatu subyek
yang pasti. Sesuatu yang pasti tersebut, dapat berupa hak-hak, pelayanan
(jasa), barang-barang yang ada atau akan masuk keberadaannya, selama mereka
dapat menentukan. Para pihak, jika perjanjian telah terbentuk tidak mungkin
untuk melakukan prestasi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
d.
Suatu sebab yang diijinkan (A Premissible Cause)
Perjanjian
tidak boleh melanggar ketentuan hukum. Suatu sebab yang halal adalah syarat
terakhir untuk berlakunya suatu perjanjian. Pasal 1320 ayat 4 jo 1337
KUHPerdata menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian
yang menyangkut causa yang dilarang oleh Undang-Undang atau bertentangan dengan
kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum.
Perjanjian
yang dibuat untuk causa yang dilarang oleh Undang-Undang atau bertentangan
dengan kesusilaan atau bertentangan dengan undang-undang adalah tidak sah.
Melakukan
kontrak bisnis lintas batas negara, para pihak akan dihadapkan dengan pilihan
hukum. Dalam penentuan pilihan hukum, dikenal beberapa prinsip dan batas
pilihan hukum
Yaitu:
a.
Partijautonomie
Menurut
prinsip ini, para pihak yang paling berhak menentukan hukum yang hendak mereka
pilih dan berlaku sebagai dasar transaksi, termasuk sebagai dasar penyelesaian
sengketa sekiranya timbul suatu sengketa dari kontrak transaksi yang dibuat.
Prinsip ini merupakan prinsip yang telah secara umum dan tertulis diakui oleh
sebagian besar negara, seperti Eropa (Italia, Portugal, Yunani), Eropa Timur
(Polandia, Cekoslowakia, Austria), negara-negara Asia-Afrika, termasuk
Indonesia dan negara-negara Amerika, khususnya Kanada.
b.
Bonafide
Menurut
prinsip ini, suatu pilihan hukum harus didasarkan itikad baik (bonafide), yaitu
semata-mata untuk tujuan kepastian, perlindungan yang adil, dan jaminan yang
lebih pasti bagi pelaksanaan akibat-akibat transaksi (isi perjanjian).
c.
Real Connection
Beberapa
sistem hukum mensyaratkan keharusan adanya hubungan nyata antara hukum yang
dipilih dengan peristiwa hukum yang hendak ditundukkan/didasarkan kepada hukum
yang dipilih.
d.
Larangan Penyelundupan Hukum
Pihak-pihak
yang diberi kebebasan untuk melakukan pilihan hukum, hendaknya tidak
menggunakan kebebasan itu untuk tujuan kesewenang-wenangan demi keuntungan
sendiri.
e.
Ketertiban Umum
Suatu
pilihan hukum tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, yaitu bahwa
hukum yang dipilih oleh para pihak tidak boleh bertentangan dengan sendi-sendi
asasi hukum dan masyarakat, hukum para hakim yang akan mengadili sengketa bahwa
ketertiban umum (orde public) merupakan pembatas pertama kemauan seseorang
dalam melakukan pilihan hukum.
2.
3 Asas – asas dalam kontrak dagang
Dalam
menyusun suatu kontrak atau perjanjian baik itu bersifat bilateral dan
multilateral maupun dalam lingkup nasional, regional dan internasional harus
didasari pada prinsip hukum dan klausul tertentu. Dalam hukum perdata dikenal
beberapa prinsip dasar yang harus diterapkan dalam penyusunan kontrak sehingga
akan terhindar dari unsur-unsur yang dapat merugikan para pihak pembuat suatu
kontrak yang mereka sepakati. Prinsip dan klausul dalam kontrak dimaksud adalah
sebagai berikut:
Asas
Kebebasan Berkontrak. Berdasarkan prinsip ini, para pihak berhak menentukan apa
saja yang ingin mereka sepakati, sekaligus untuk menentukan apa yang tidak
ingin dicantumkan di dalam isi perjanjian, tetapi bukan berarti tanpa batas.
Dalam KUHPerdata, asas kebebasan berkontrak ini diatur dalam Pasal 1338
KUHPerdata yang dirumuskan sebagai: (a) Semua persetujuan yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya; (b) Persetujuan
itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau
karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu; (c)
Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
Asas
Konsensualitas. Suatu perjanjian timbul apabila telah ada konsensus atau
persesuaian kehendak antara para pihak. Dengan kata lain, sebelum tercapainya
kata sepakat, perjanjian tidak mengikat. Konsensus tersebut tidak perlu ditaati
apabila salah satu pihak menggunakan paksaan, penipuan ataupun terdapat
kekeliruan akan objek kontrak.
Asas
Kebiasaan. Suatu perjanjian tidak mengikat hanya untuk hal-hal yang diatur
secara tegas saja dalam peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan
sebagainya, tetapi juga hal-hal yang menjadi kebiasaan yang diikuti masyarakat
umum. Jadi, sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan.
Dengan kata lain, hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan
dianggap secara diam-diam dimasukan dalam persetujuan meskipun tidak dengan
tegas dinyatakan. (Pasal 1339 BW).
Asas
Peralihan Resiko. Dalam sistem hukum Indonesia, beralihnya suatu resiko atas
kerugian yang timbul merupakan suatu prinsip yang berlaku untuk jenis-jenis
perjanjian tertentu seperti pada persetujuan jual beli, tukar menukar, pinjam
pakai, sewa menyewa, pemborongan pekerjaan, dan lain sebagainya, walaupun tidak
perlu dicantumkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Meskipun demikian, para
pihak boleh mengaturnya sendiri mengenai peralihan resiko itu, sepanjang tidak
bertentangan dengan undang undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Asas
Ganti kerugian. Penentuan ganti kerugian merupakan tugas para pembuat
perjanjian untuk memberikan maknanya serta batasan ganti kerugian tersebut
karena prinsip ganti rugi dalam sistem hukum Indonesia mungkin berbeda dengan
prinsip ganti kerugian menurut sistem hukum asing. Dalam KUHPerdata Indonesia,
prinsip ganti kerugian ini diatur dalam pasal 1365, yang menentukan; “Setiap
perbuatan melanggar hukum yang menmbawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan
orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian tersebut.” Dengan demikian,
untuk setiap perbuatan yang melawan hukum karena kesalahan mengakibatkan orang
lain dirugikan, maka ia harus mengganti kerugian yang diderita orang lain,
tetapi harus dibuktikan adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan
hukum dengan kerugian dimaksud sebab tidak akan ada kerugian jika tidak
terdapat hubungan antara perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh si pelaku
dengan timbulnya kerugian tersebut.
Asas
Kepatutan (Equity Principle). Prinsip kepatutan ini menghendaki bahwa apa saja
yang akan dituangkan di dalam naskah suatu perjanjian harus memperhatikan
prinsip kepatutan (kelayakan/ seimbang),
sebab melalui tolak ukur kelayakan ini hubungan hukum yang ditimbulkan oleh
suatu persetujuan itu ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat
(KUH-Perdata: pasal 1339). Dengan begitu, setiap persetujuan tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dimuat dalam naskah perjanjian, tetapi
juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh
“kepatutan”, kebiasaan atau undang undang.
Asas
Ketepatan Waktu. Setiap kontrak, apapun bentuknya harus memiliki batas waktu
berakhirnya, yang sekaligus merupakan unsur kepastian pelaksanaan suatu
prestasi (obyek kontrak). Prinsip ini sangatlah penting dalam kontrak-kontrak
tertentu, misalnya kontrak-kontrak yang berhubungan dengan proyek konstruksi
dan proyek keuangan, di mana setiap kegiatan yang telah disepakati harus
diselesaikan tepat waktu. Prinsip ini penting untuk menetapkan batas waktu
berakhirnya suatu kontrak. Dalam setiap naskah kontrak harus dimuat secara
tegas batas waktu pelaksanaan kontrak. Jika prestasi tidak dilaksanakan sesuai
dengan batas waktu yang telah disepakati, salah satu pihak telah wanprestasi
atau telah melakukan cidera janji yang menjadikan pihak lainnya berhak untuk
menuntut pemenuhan prestasi ataupun ganti kerugian.
Asas
Keadaan darurat (Force Majeure). Force majeure principle ini merupakan salah
satu prinsip yang sangat penting dicantumkan dalam setiap naskah kontrak, baik
yang berskala nasional, regional, maupun kontrak internasional. Hal ini penting
untuk mengantisipasi situasi dan kondisi yang melingkupi objek kontrak. Jika
tidak dimuat dalam naskah suatu kontrak, maka bila terjadi hal-hal yang berada
di luar kemampuan manusia, misalnya gempa bumi, banjir, angin topan, gunung
meletus, dan lain sebagainya, siapa yang bertanggung jawab atas semua kerugian yang
ditimbulkan oleh bencana alam tersebut.
2.
4 Penyusunan kontrak dagang
a) Pemahaman akan latar belakang transaksi
b) Pengenalan dan
pemahaman akan para pihak
c)
Pengenalan dan pemahaman akan objek transaksi
d)
Penyusunan garis besar transaksi
e)
Perumusan pokok-pokok kontrak
BAB III
KESIMPULAN
Kontrak dalam hal ini fungsinya sama dengan UU tapi hanya berlaku bagi
pihak yang membuatnya. Yang ingkar/melanggar digugat dengan gugatan wanprestasi
(ingkar janji). Seperti kita ketahui bahwa banyak peraturan perundang-undangan
kita yang masih berasal dari masa pemerintahan Hindia Belanda.
Momentum terjadinya kontrak pada umumnya adalah ketika telah tercapai kata
sepakat yang ditandai dengan penandatanganan kontrak sebagai bentuk kesepakatan
oleh para pihak. Fungsi kontrak adalah demi memberikan kepastian hukum bagi
para pihak. Agar mereka tenang dan mengetahui dengan jelas akan hak dan
kewajiban mereka.
Pada dasarnya asas kebebasan berkontrak mengutamakan kebebasan dan
kesederajatan tiap manusia. Akan tetapi, pada penerapannya sehari-hari dalam
pembuatan kontrak baku sangat minim menerapkan asas kebebasan berkontrak.
Padahal asas kebebasan berkontrak mengandung makna bahwa masyarakat mempunyai
kebebasan untuk membuat perjanjian sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Kebebasan tersebut meliputi:
- kebebasan
para pihak untuk memutuskan apakah akan membuat perjanjian atau tidak.
- kebebasan
untuk memilih dengan siapa akan membuatsuatu perjanjian.
- kebebasan
untuk menentukan bentuk perjanjian.
- kebebasan
untuk menentukan isi perjanjian.
- kebebasan
untuk menentukan cara pembuatan perjanjian.
Sementara itu kebebasan-kebebasan yang masih dapat diwujudkan dalam
implementasi Asas Kebebasan Berkontrak ini adalah:
- kebebasan
untuk memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian atau tidak.
- kebebasan
untuk memilih dengan siapa akan membuat suatu perjanjian.
DAFTAR
PUSTAKA
Sudargo
Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1976.
Bismar
Nasution, “Pengaruh Globalisasi pada Hukum Indonesia” Majalah Hukum Fakultas
Hukum USU, Volume 8 No. 1, Medan, 2003.
Ramlan
Ginting. 2000. Letter of Credit : Tinjauan Aspek hukum dan Bisnis. Jakarta :
Salemba
Empat
Ade
Maman Suherman. 2004. Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global. Bogor : Ghalia
Indonesia.